Senin, 02 Januari 2023

REMPAH, EMAS HIJAU MILIK KITA

Tanyakan saja pada setiap orang, bahkan pada seluruh masyarakat dunia, adakah satu rumah tangga yang tak memiliki lada di dapur mereka, bisa jadi hampir semua orang akan menjawab punya.

Artinya, rempah yang pada suatu saat dulu begitu amat sangat berharga dan langka, kini telah mendunia. Paradigma rasa benar adanya memang telah berubah. Apa yang dulu asing di lidah, kini seolah telah berubah menjadi tuntutan harus.

Itu baru lada. Eksotis rasa cengkeh, pala, kapulaga, jintan, kayu manis dan puluhan rempah yang lain, yang menjadi kekayaan akan cita rasa "asli" negeri kita memang telah mendunia.

Pun terkait banyak jenis rempah yang bermanfaat sebagai obat herbal, banyak yang asli dan tumbuh dari tanah milik kita, Indonesia. Mereka pun sudah mulai dan terbiasa untuk memanfaatkannya.

Di Eropa atau di Amerika, mereka sering menyebut dengan bumbu Asia. Dan untuk mendapatkannya, biasa mereka belanja di toko milik orang Vietnam misalnya.

Bahwa besar kemungkinannya mereka justru akan menganggapnya sebagai istilah asing manakala namanya kita rubah dengan rempah Indonesia, bukan mustahil karena mereka tak paham akan sejarah besar bangsa ini. Atau, bisa jadi, kita pun enggan untuk menjadi saksi.

Padahal, pada suatu saat dulu, bangsa ini tak kurang dan tak lebih adalah penyebab dari terjadinya globalisasi dunia yang pertama. Dan rempah adalah tersangka di balik semua itu. Tanpa rempah, dunia tak akan pernah sama seperti saat ini.

Sudah saatnya kita harus mulai bercerita dan menggaungkan sejarah kebesaran rempah kita itu. Suatu saat kelak, itu sama dengan kita bicara tentang devisa luar biasa besar. Dia adalah emas hijau milik kita. "Apa? Indonesia dengan rempahnya di balik globalisasi dunia?"

Bila pada suatu saat dulu rempah pernah dianggap berada di balik sebab terjadinya sebuah proses bernama globalisasi, itu tak terlalu berlebihan. Itu fakta yang mudah untuk kita carikan rujukannya.

Bila kita berangkat dari data milik kolonial, mereka bicara tentang abad penemuan. Daerah - daerah yang sama sekali tak pernah mereka sangka ada, menjadi terpetakan.

Untuk pertama kalinya dunia tersambung dalam konsep yang mudah dicerna dan masuk akal. Konsep tentang bumi yang bulat terbuktikan sudah. Fakta bahwa ketika kita pergi ke arah timur dan lalu kita terlihat pulang dari arah barat, terbuktikan sudah

Konon otoritas dr kerajaan Spanyol bersepakat dgn kerajaan Portugis utk tak saling mengganggu saat mencari di mana sumber rempah tsb. Spanyol berlayar ke arah barat & Portugis ke arah timur. Perjanjian itu bernama Tordesillas. Mereka mencari harta karun yg bernilai sgt mahal.

"Jadi, dengan kata lain Indonesia adalah sebab globalisasi itu?" Bukan klaim sepihak ingin kita ungkap apalagi jumawa sikap. Kita, Indonesia, percaya atau tidak, memang adalah pusat dari, atau penyebab globalisasi itu menjadi mungkin terjadi.

Saat dunia terpisah jarak dan laut hadir sebagai pembatas, mereka, para pelaut, kaum yang kemudian berkembang menjadi bangsa kolonial dan kita sebut dengan julukan si penjajah, membuat klaim bahwa abad pelayaran mereka mulai.

Itu bukan tanpa alasan. Paradigma rasa dan budaya atas kehadiran rempah - rempah selama ratusan tahun yg telah menina bobokan mereka dalam eksotis cita rasa yang tak pernah mereka sangka ada itu telah mengubah banyak hal dan kebiasaan masyarakat yang berasal dari benua Eropa.

Rempah, sedemikian rupa telah berkembang menjadi kebutuhan yang tak mungkin tak boleh ada. Dan maka menjadi pantas manakala dia berharga sangat mahal.

Menjadi masalah ketika Ottoman berkuasa dan jalur terputus atau sengaja diputus oleh pemilik otoritas, dia yang tak boleh tidak ada meski berharga sangat mahal itu kini benar - benar menjadi TIDAK ADA. Mereka kalut.

Ketika ongkos menjadi mustahil, ketika untuk mendapatkannya saja harus dengan berperang melawan Turki, ini lebih dari sekedar mahal, ini telah menjadi mustahil. Dan mereka pun mencari siasat.

Pelayaran samudra pun mereka pilih. Jalur lama, jalur tradisional dengan caravan yakni jalur darat yang juga dikenal dengan nama jalur sutra segera saja mereka lupakan. Mereka berikhtiar menembus samudra tak terpetakan, mengendus jejak dari mana wangi rempah itu bermula.

Tak lupa, dan kadang tanpa rasa malu, mereka mendeklarasikan banyak penemuan daerah baru yang sebenarnya sama sekali bukan baru.

Luar biasanya, di masa kini kita justru turut dan larut dalam klaim itu, dan kemudian mendasarkan pemahaman sejarah dari data dan klaim mereka. Kita seperti mimpi dan lalu bercerita hebat sejarah kita namun dari catatan mereka.

Mereka berteriak bangga menemukan Tanjung Harapan. Padahal, bila kita mau dan serius mencari jejak siapa nenek moyang kita dahulu, daerah itu adalah tempat kita biasa dan selalu singgah manakala berlayar menuju tempat yang lebih jauh.

Konon, dalam sejarah yang jauh lebih tua, kapal - kapal besar milik nenek moyang kita biasa lalu lalang di daerah itu. Dari pelabuhan Barus, nenek moyang kita pernah menjangkau sudut terjauh bumi utara dengan banyak persinggahan.

Menyambangi Yunani mrk menggunakan Lankadeepa atau Tanah Bersinar (Sri Lanka) sbg transit pertama. Berlanjut menuju India lalu menyeberang Laut Arab menuju Teluk Aden dan lalu menyusuri Laut Merah hingga Tanjung Harapan sblm mrk menyisir laut di barat Afrika menuju benua Eropa

Herodotus penulis buku The Histories dari Yunani abad 5 SM bicara hal itu. Dalam surat kpd sahabatnya di Cypria, dia bercerita tentang orang-orang dari Selatan yg dalam pikirannya terlihat seperti kerasukan “Setan Laut”.

"Mereka datang, lalu menghilang, dan lalu datang lagi selewat 5 tahun. Mereka seolah didatangkan begitu saja oleh badai yg ganas.” tulisnya. (Panjang kisah Itu. Kita bahas saja di lain waktu.)

Dan lalu, dalam rangka mengendus dari mana wangi rempah itu bermula, para pelaut Eropa pun secara tak sengaja menemukan benua Amerika. Itu dilakukan oleh mereka yang berlayar ke arah barat.

Kelak ketika tempat dimana sumber rempah itu telah ditemukan oleh mereka yang bergerak ke arah timur dan dengan angkuh mereka namakan sebagai Hindia Belanda, mereka juga membuat klaim sebagai penemu dari benua Australia.

Kemudian, menjadikan dan meletakkan dua benua baru itu dalam gambar yang lebih utuh, dalam bahasa peta yang mereka miliki saat itu. Dan itu menjadikan gambaran bumi menjadi seperti peta dunia kita hari ini.

Di sanalah makna globalisasi pertama disematkan. Dan Indonesia dengan rempahnya, sesungguhnya memang adalah sebab musabab itu. Indonesia adalah pusat dari makna globalisasi itu sendiri.

Mereka mencari di mana letak Indonesia namun dalam perjalanannya mereka juga menemukan dunia baru dan lalu menyatukannya dalam sebuah peta baru, peta dunia yang direvisi, dunia yang saling terhubung dengan samudra sebagai jembatannya.

"Trus, apa nilai lebih rempah saat ini sehingga dia harus bergelar emas hijau?"

Berkali - kali sudah pak Jokowi meminta agar negara ini tak lagi pernah menjual barang mentah. Itu berlaku bagi barang tambang seperti nikel, bauksit, timah dan banyak barang tambang milik kita. Itu eksklusif SDA sebagai berkah yang tak boleh diobral murah.

Beliau meminta agar bangsa ini mau dan mampu untuk mengolahnya menjadi barang setengah jadi, sukur - sukur berupa barang jadi. Itu bicara tentang nilai tambah SDA sekaligus bersyarat pintar SDM bangsa ini harus miliki. Teknologi ada di balik syarat ini.

Sama seperti nikel dan barang tambang, rempah harus diolah terlebih dahulu sebelum dijual demi nilai tambah itu.

Beda dengan barang tambang, rempah tak kenal kata habis selama kita mau terus dan terus menumbuhkannya. Sebagai sebuah produk, dia terhubung erat dengan makanan dan obat - obatan dan maka harus memenuhi kaidah aman terkait kesehatan.

Di sini teknologi hadir. Bukan hanya pemilik industri jamu dan rempah harus terlibat dalam teknologi, petani pun mau tak mau adalah insan yang hidup dalam budaya teknologi. Itu bicara banyak hal.

Keunikan rempah asli kita yang pada suatu saat dulu pernah mempesona banyak bangsa di dunia, pasti terkait erat dengan media tanah dan iklim di daerah itu, Indonesia.

Rempah yang sama dan berasal dari media dan udara yang sama, seharusnya masih memiliki pesona itu. Di sini pun teknologi memiliki peran besar dalam turut bicara.

Dan ketika dia harus mendunia, segala aspek terkait tata kelola produk harus sesuai dengan standar internasional. Di sini negara harus hadir. Fungsi negara harus jelas dan transparan hanya demi semua potensi itu mungkin.

"Bagaimana cara merebut pasar yang sudah lama dikuasai oleh pedagang Vietnam dan India?" Menjadikan setiap kedutaan besar kita yang ada seluruh penjuru dunia sebagai representasi dan duta rempah, adalah salah satunya.

Tiba - tiba store terkait rempah dan produk asli Indonesia hadir dalam berdampingan dengan kedutaan kita, itu heroik kisah kita ingin memenuhi dapur di setiap rumah dengan produk rempah kita.

Itu hanya salah satu bentuk negara hadir. Melakukan pembatasan penjualan rempah dalam bentuk mentah seperti pada barang tambang kita yang lain adalah cara smart bagaimana negara hadir. Itu bukan mustahil.

Harum rempah pada setiap dapur manusia di seluruh dunia tak bermakna ekonomi belaka, itu juga bicara sejarah. Ketika mereka pun pada akhirnya tahu bagaimana sejarah rempah kita pada suatu saat dulu, mereka akan memandang bangsa ini sebagai bangsa besar.

Ya, mereka akan bicara kisah ratu Sheba dan raja Salomo misalnya namun dengan tambahan atas hadirnya usaha keras bangsa ini menyeberangi samudera luas saat dunia justru masih dianggap gelap gulita. Kita membawa terang.

Mereka akan mencari tahu dengan media apakah rempah itu dapat tersebar. Dan bukan mustahil bahwa pencarian jejak kapal jung misalnya, justru akan dimulai dari dapur tempat mereka memasak.

Bila kelak semua bukti terpapar jelas, Laut China Selatan misalnya, otoritas China tak lagi dapat jumawa berkata bahwa jalur itu adalah milik mereka. Ada budaya jauh lebih tua telah menjawab.

Dan kita tahu bahwa kisah raja Salomo adalah cerita yang lebih tua dibanding dinasti Han sebagai rujukan China saat membuat klaim jalur tua dan legendaris itu, jalur sutra.

Data berkata bahwa kisah raja Salomo terjadi pada 900 SM sementara dinasti Han pada sekitar 200 SM. Pun penulis dari Yunani Herodotus saat memberi kesaksian dalam tulisannya The Histories abad 5 SM, kisah mirip dongeng itu akan kembali hidup.

Ya, mustahil kisah bangsa ini mengarungi samudra luas justru terjadi di saat dunia msh berdebat ttg bumi bulat dibanding datar, tak mustahil akan dimulai dr dapur. Wangi rempah terlanjur mempesona mereka. Rempah yang kembali mendunia adalah jawaban semua itu menjadi mungkin. .

.

(diadopsi dari twit NitNot | @Leonita_Lestari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar