Kamis, 22 Desember 2022

KINI KALIYUGA ?

 

Mangkya darajating praja

kawuryan wus sunya ruri

rurah pangrehing ukara

karana tanpa palupi

KERTANEGARA tahu bahwa dirinya hidup di zaman kaliyuga, suatu babak terakhir sejarah Bumi. Ditandai dengan kekacauan, kekalutan, gonjang-ganjing, bencana alam silih berganti. Kehidupan rakyat bagaikan gabah ditampi. Begitulah jagat memberikan titah, perintah kepastian.

K

ENDATI demikian, Raja Singasari yang mulai memerintah mulai tahun 1270 tidak menyerah. Entah karena optimisme atau karena kesombongannya. Kidung Panji Wijayakrama mencatat sifatnya yang angkuh, ahangkara (terlalu percaya pada kekuatan dan kekuasaannya). Ia menentang kekuasaan Tartar yang menjadi satu-satunya superpower dunia.

Untuk menunjukkan kedigdayaannya, Kertanegara melakukan politik ekspansif. Ia menaklukkan kerajaan Melayu yang berpusat di Jambi. Kekuasaannya meluas sampai Selat Malaka.

Sekalipun sukses melakukan politik ekspansif, tetapi kehidupan politik domestik kacau. Seperti yang dicatat Negarakretagama, yaitu terjadi pemberontakan Cayaraja, pemberontakan Mahisa Rangkah. Semua pemberontakan memang bisa dipatahkan, tetapi tak urung menyerap energi kerajaan.

Ketidakpuasan rakyat semakin merebak akibat perubahan kebijakan politik domestik. Dengan gelar Siwa-Budha, Kertanegara meyakini bahwa raja sebagai penguasa tunggal itu selalu benar. Siapa yang berani berbeda, apalagi sampai membantah, sama dengan merongrong kewibawaan raja.

Untuk itu aparat pemerintah yang berani berbeda pendapat disingkirkan seperti yang dialami Raganata yang terkenal sangat cerdas dan bijaksana. Raganata dipelorot dari jabatan Patih Amangkubumi menjadi Ramadyaksa di Tumapel. Raganata legowo (ikhlas) menerima keputusan itu.

Berbeda dengan Pujangga Santasemetri yang tidak legowo. Untuk menutupi kekecewaannya, ia memilih menyingkir ke hutan menjadi pertapa. Lain lagi dengan Wiraraja yang diturunkan dari jabatannya sebagai demung menjadi Adipati Sumenep (Madura), sangat tidak puas. Ia menyimpan dendam. Kemudian ia menjadi provokator utama untuk menumbangkan Kertanegara.

Tataran puncak kaliyuga terjadi pada tahun 1292. Raja bawahan Singasari, Jayakatwang dari Gelang-gelang melakukan kudeta militer setelah diprovokasi Wiraraja. Kudeta dilakukan di saat kekuatan militer Singasari kosong karena melakukan ekspansi ke mancanegara. Kertanegara tewas mengenaskan dalam kudeta itu.

vvvvv

SEJARAH tidak selalu dipahami sebagai garis yang menghubungkan titik-titik kemajuan. Ada yang memahami sebagai cakra manggilingan (roda yang berputar). Jaman kaliyuga sesuai kehendak jagat pernah hadir sebelum Kertanegara.

Empu Sedah dan Empu Panuluh dalam Kakawin Bharatayudha sudah menulis jauh sebelumnya. Setelah Raja Suyudana dari Astina meninggal dalam perang Bharatayudha melawan Pendawa, tak ada lagi kekhawatiran ada yang akan membuat rusak. Untuk itu Wisnu yang menitis pada Sri Kresna kembali ke alam kadewatan (tempat dewa).

Roda jaman berputar. Angkara murka kembali merebak. Tanah Jawa yang digambarkan sebagai mozaik dunia rusak. Rakyat dicekam ketakutan. Kejahatan merajalela karena tidak ada lagi yang menjaga. Untuk itulah Wisnu datang lagi menjelma pada diri Prabu Jayabaya di Daha. Berkat pemerintahan Jayabaya, tanah Jawa kembali aman tenteram rakyatnya hidup sejahtera. Keadaan itu tidak abadi. Jaman kaliyuga kembali datang dan membuat Daha terbelah menjadi Jenggala dan Kediri. Sampai akhirnya lahirlah Singasari.

Siklus kaliyuga memang selalu diwarnai dengan pergantian kekuasaan. Di akhir abad ke-15, kaliyuga datang dengan menghancurkan Majapahit. Kekuasaan  bergeser ke belahan tengah Jawa yaitu Demak, dan puncak kejayaannya terjadi pada jaman Sultan Agung di Mataram.

Pada jaman Amangkurat I yang memerintah Mataram mulai tahun 1646, datanglah jaman gelap. Ketika raja tidak lagi menjadi seperti air bagi kehausan, bagaikan obor bagi yang kegelapan, payung bagi yang kepanasan. Raja kehilangan watak ber budi bawa leksana, menepati janji dan memiliki akal budi. Ketika penguasa lekang dari amanat ke-Ilahi-an sebagai sayidin panetep panata gama kalipatullah, pemimpin agama yang berpegang dan menata agama, wakil Tuhan di Bumi.

HJ De Graaf, penulis sejarah tentang Mataram yang paling lengkap menggambarkan betapa rakyat hidup dalam teror kekuasaan. Amangkurat I melumuri tangannya dengan darah ribuan ulama, saudara-saudaranya, pejabat bawahannya, bahkan istri-istri dan anak-anak.

Dalam kaliyuga juga memperkenalkan balasan bagi angkara murka. Berlaku asas hukum ngunduh wohing pakerti, memetik hasil perbuatan sendiri. Sama seperti nasib Kertanegara, Amangkurat I mengakhiri hidupnya dengan tragis. Ia tewas pada tanggal 28 Juni 1677 sebagai pelarian setelah diserang Trunajaya.

Kehadiran kaliyuga digambarkan tidak selalu berkait dengan kekuasaan yang angkara murka. Raden Ngabehi Ranggawarsita, pujangga tanah Jawa yang hidup di abad ke-19 lebih melihat sebagai siklus sejarah. Semacam pepestan, takdir.

Ia memang meratapi jaman itu dengan karya puisinya, Serat Kalatida, puisi jaman gelap. Ia menulis: Mangkya darajating praja/kawuryan wus sunya ruri/rurah pangrehing ukara/karana tanpa palupi. Tatkala derjat kerajaan sudah senyap, aturan kacau, tiada kejernihan nalar, suasana seperti gila. Kegilaan bukan karena penguasanya tidak becus. Buktinya ia melanjutkan: Ratune ratu utama/patihe linuwih/pra nayaka tyas raharja/panakare becik-becik, rajanya utama, menterinya ahli, kebijakan pejabatnya bagus.

Bisa jadi Ranggawarsita memang tidak mau terang-terangan mengkritisi penguasa. Ia lebih menggunakan sanepan (sindiran). Tatkala ia bicara darajating praja, sebenarnya menuding raja karena inti dari kerajaan adalah raja. Bisa dimaklumi karena dia adalah seorang pujangga istana. Dia orang Jawa priyayi yang sangat eufemistis.

Gaya Ranggawarsita inilah barangkali yang diduplikasikan Sri Sultan Hamengku Buwono X ketika pada tanggal 1 Juli 1993 mengungkap gejala gara-gara (kekacauan) dan jaman kalabendu, suatu jaman hukuman dan bencana. Gejalanya di jaman ini persepsi terhadap aspek kehidupan yang legalistik. Persepsi ini menciptakan suasana pendekatan yang kaku, dan kurang memberi tempat pada harkat dan martabat kemanusiaan. Merebaknya budaya kekerasan, kebrutalan dan budaya perang atau just war, yang kerap kali dipakai sebagai alasan untuk mempertahankan diri.

Sri Sultan memang tidak menuding munculnya jaman ini akibat kesalahan rezim Soeharto. Sebagai orang Jawa priyayi, ia sangat eufemistik. Meskipun penggunaan istilah kalabendu lebih bermakna sebagai hukuman Tuhan akibat perbuatan dosa manusia. Dalam dosa kolektif, penguasa menempati urutan pertama karena sebagai penanggung jawab masyarakatnya.

Dr Djoko Suryo, pakar sejarah Universita Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengatakan, dilihat fenomena yang disebut dalam kaliyuga yang memandang sejarah secara spekulatif—sekarang ini kita hidup di jaman itu. “Lihat saja, kondisi negara kan seperti yang digambarkan Kalatida. Pemerintah tidak berwibawa. Para elite seperti tidak memiliki kejernihan berpikir. Kekacauan di mana-mana. Rakyat dalam kebingungan. Kehidupan bangsa tidak ada arah,” katanya.

vvvvv

KALIYUGA, bagi mereka yang memahami sejarah secara spekulatif, adalah siklus sejarah. Setelah itu akan hadir jaman kertayuga atau ada yang menyebut kalakerta. Bahkan boleh dibilang, kaliyuga adalah prasyarat hadirnya jaman kertayuga. Suatu jaman emas. Jaman gemilang. Jaman yang digambarkan dengan: loh jinawi gemah ripah tata tentrem kerta raharja. Gambaran keadaan negara ini pula yang ingin diwujudkan Presiden Abdurrahman Wahid.

Tidak ada pakem yang menyatakan berapa lama siklus itu berlangsung. Pada jaman Prabu Jayabaya, siklus itu terjadi begitu cepat. Kertayuga terwujud pada saat dia memerintah. Siklus dari jaman Kertanegara baru terjadi sekitar 60 tahun kemudian ketika Majapahit sebagai kelanjutan Singasari diperintah Prabu Hayam Wuruk.

Hanya siklus tidak terjadi dengan sendirinya. Melainkan melalui tangan Sang Pembebas atau Ratu Adil. Paham ratu adil atau mesianisme begitu populer di kalangan rakyat. Sudah menjadi mitos yang sangat kuat. Dalam pertumbuhannya ada pertautan antara paham mesianisme Jawa dengan paham Imam Mahdi pada sebagian kelompok Islam.

Pertautan ini semakin kuat karena Islam yang berkembang di Jawa ini sebagian dari paham Syiah yang kental dengan ide mesianisme, yaitu hadirnya Imam ke-12. Maka simbol-simbol gerakan mesianisme di Indonesia, khususnya Jawa merupakan visualisasi perpaduan mesianisme Islam dengan tradisi Jawa.

Misalnya, Jayabaya dalam teks tua menurut Dr J De Hollander (1848), diceritakan berguru kepada Maulana Rum yang kalau melihat istilah maulana berarti Muslim. Jayabaya juga diidentikkan dengan Ratu Sekti yang berasal dari Wali Allah. Banyak gerakan ratu adil yang menyatakan memiliki pasukan sirullah berupa malaikat, jin, lelembut.

Dalam tulisan Prof Dr Sartono Kartodirdjo (1984), terbaca jelas perpaduan itu dalam pelbagai gerakan keagamaan di Jawa abad ke-19 dan ke-20 yang bercorak mesianistik. Misalnya, gerakan Pangeran Diponegoro yang menyandang nama Panembahan Erucakra, gerakan Jasmani di Blital, gerakan Amat Ngisa di Jateng, gerakan Pak Jebrak di Mojokerto, gerakan Kiai Kasan Mukmin di Sidoarjo, Nyi Aciah di Malangbong, gerakan Dulmajid di Yogyakarta, gerakan Pulung, Srikaton, Imam Sujono di Ponorogo.

Gerakan mesianistik di akhir abad ke-20 diperkuat dengan ideologi milenaristik yaitu akan hadirnya jaman emas di abad ke-21 yang dimulai dengan kehadiran ratu adil atau Imam Mahdi di akhir abad ke-20. Seperti gerakan Muhammad Arif yang menyandang nama Romo Bung Karno alias Imam Mahdi di Malang tahun 1998, gerakan Samsuri di Banyuwangi tahun 1999.

Ramalan Alvin Toffler bahwa abad ke-21 adalah abad kebangkitan agama, dalam kasus Indonesia mendapat tuangan warna mesianistik dan milenarsitik. Kebangkitan agama lantas divisualisasikan dengan kehadiran Sang Pembebas, corak gerakan berupa pengaduk-adukan emosi melalui massalisasi kegiatan  ritual keagamaan. Gerakan ini sering kali bernuansa politis seperti show of force untuk menunjukkan dukungan atau menggertak lawan.

Lantaran kuatnya mitos ratu adil di hati rakyat, maka banyak tokoh yang memiliki visi populis menggunakan paham ini untuk memperoleh dukungan rakyat. Maka yang paling awal digarap menjadi pengikut adalah masyarakat yang frustasi dan tidak rasional, atau ada yang mengistilahkan masyarakat paranoid. Penyebab frustasi bisa macam-macam seperti kemiskinan yang menindih, ketakutan, konflik. Lapisan masyarakat bawah menjadi sasaran empuk karena rendahnya tingkat berpikir secara rasional.

Untuk itulah, tokoh mesianistisme akan menjanjikan terwujudnya jaman kertayuga di mana keadaan  negara benar-benar loh jinawi gemah ripah tata tentrem kerta raharja, tanamannya subur, harga-harga murah, perdagangan dan pelayaran berkembang, aman tentram dan sejahtera. Tokoh itu akan mencari legitimasi secara supranatural seperti ke kuburan orang-orang suci, tempat-tempat yang dianggap keramat, benda-benda berkekuatan magis. Pinjam istilah ROG Anderson (1972), itulah pandangan Jawa tradisional terhadap konsep kekuasaan. Bahkan kekuasaan itu kongkret. Ada pada keris, kuburan, tombak, jubah, tongkat, cincin, kutang, pulung, yaitu seberkas sinar ghaib.

Bung Karno, misalnya, seperti ditulis Dr Sindhunata (1999), datang ke petilasan Jayabaya di Menang, Kediri (Jatim). Disaksikan banyak orang, setelah berdiam di tempat itu selama sekitar tujuh menit mengaku telah menerima wahyu kedaton, wakyu kenegaraan. Bung Karno pun dimitoskan sebagai ratu adil dan memiliki kesaktian luar biasa seperti HOS Tjokroaminoto, guru politik Bung Karno. Bahkan di mata Samsuri, Bung Karno tidak mati melainkan masih hidup di Alas Purwo Banyuwangi. Muhammad Arief mengaku titisan Bung Karno sehingga berganti nama Romo Bung Karno.

Sawito pada tahun 1970-an menobatkan diri menjadi ratu adil setelah mendapat wahyu di hutan Ketangga, Ngawi. Ketangga diramalkan akan menjadi pusat kerajaan Prabu Erucakra, ratu adil yang hidup di sekitar tahun 1900. Syamsuri mengaku mendapat mandat sebagai juru selamat pada saat kiamat pada tanggal 9 September tahun 1999 jam 09.09. Ramalan yang ternyata meleset dan ia dipenjara karena membuat keresahan masyarakat, sama nasibnya dengan Sawito dan Arif.

vvvvv

MESIANISME dalam kurun sekarang bisa jadi tidak hanya dipersepsi dalam diri seorang tokoh. Bisa dalam suatu gerakan atau institusi. Gerakan reformasi yang me-lengser-kan Soeharto setelah 32 tahun berkuasa, bisa bergeser secara substansial menjadi gerakan mesianisme bila tidak dikemas dalam suatu rasionalitas. Suatu konsep strategi dan penataan untuk mewujudkan agenda-agenda reformasi secara menyeluruh dan terpadu.

Kemungkinan terjadinya pergeseran itu sangat besar. Kita memiliki kultur mesianistik, milenaristik yang kuat. Pada saat reformasi berada di puncak dua tahun lalu, ada yang melihat sebagai goro-goro yang mengawali datangnya satria piningit yang dalam kata lain juga ratu adil.

Kultur mesianistik ini bisa dipakai oleh elite kekuasaan untuk menutupi ketidakmampuannya memecahkan persoalan secara rasional. Untuk jamu kebingungannya menghadapi kompleksitas permasalahan. Untuk itulah, tokoh yang memanfaatkan kultur ini, akan selalu membuat akrobat-akrobat politik yang meluruhkan emosi rakyat. Akan membawa rakyat semakin dalam ke alam mesianistik juga. Bahkan untuk itu, harus mengurbankan institusi yang bertumpu pada man power of reason. Misalnya, menggunakan perguruan tinggi untuk melakukan ruwatan.

Di samping itu, pergeseran juga karena lemahnya visi reformasi. Para mahasiswa yang menjadi tombak reformasi hampir seluruhnya telah kembali ke kampus. Padahal merekalah yang paling tahu visi reformasi. Maka pengendali reformasi seperti kosong. Yang muncul kemudian adalah reformis gadungan dan oportunis yang muncul kemudian, yang sebenarnya tidak punya visi reformasi. Kekuatan status-quo yang mengenakan topeng reformasi.

Kalau reformasi bersentuhan atau bahkan bergeser substansi menjadi gerakan ratu adilisme, pada dasarnya telah berada dalam situasi yang sangat gawat. Bahkan telah kehilangan makna. Yang tersisa hanyalah luapan euforia yang dahsyat. Kekuasan lantas dipersepsi sebagai tumpeng yang dibagi-bagi sebagai rejeki nomplok.

Kebebasan lantas diterjemahkan sebagai keleluasaan memaki-maki orang lain. Kebebasan lebih berdimensi keliaran dan sesuka hati. Hak asasi lantas bergeser menjadi egoisme tanpa mengindahkan sopan santun, tata susila, tata sosial, dan toleransi, bahkan sarat dengan balas dendam, kebencian serta menegatifkan pihak lain.

Pergeseran secara substansial ke mesianistik, menurut sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr Hotman M Siahaan, menciptakan fatalisme baru. Menjadikan masyarakat tidak survive. “Ini jelas berlawanan dengan civil society yang akan kita bangun. Karena civil society itu dibangun atas dasar civil culture yang antara lain bertumpu pada rasionalitas, hukum,” katanya.

“Yang pasti, kalau kita masih berpandangan mesianistik berarti kita kembali ke pra-modern. Atau menunjukkan kita masih tradisional. Untuk mewujudkan cita-cita reformasi butuh pemimpin rasional yang bisa melihat masalah secara jernih. Memiliki konsep dan visi untuk membawa bangsa keluar dari krisis secara rasional,”  tegas Djoko Suryo.

Mesianisme memang menjadi obat mujarab, tetapi hanya untuk sementara waktu. Tatkala janji-janji kertayuga hanyalah angin surga yang tanpa kenyataan, rakyat tetap terpuruk dalam kemiskinan, kenistaan, penderitaan lahir batin, maka merebaklah kekecewaan baru. L Stodard menganalogkan akhir gerakan mesianisme itu seperti padang ilalang yang terbakar dan musnah dalam sekejap. Setelah itu tinggalkan serpihan jelaga yang diterpa angin.

Kekecewaan baru akan membiakkan krisis kepercayaan yang lebih dahsyat. Rasa frustasi yang lebih berat. Hidup dalam sekarat. v 

(Anwar Hudijono, 2000. Kini Kaliyuga?).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar