Mangkya darajating praja
kawuryan wus sunya ruri
rurah pangrehing ukara
karana tanpa palupi
KERTANEGARA tahu bahwa dirinya hidup di zaman kaliyuga, suatu babak terakhir sejarah Bumi. Ditandai dengan kekacauan, kekalutan, gonjang-ganjing, bencana alam silih berganti. Kehidupan rakyat bagaikan gabah ditampi. Begitulah jagat memberikan titah, perintah kepastian.
K |
ENDATI demikian, Raja
Singasari yang mulai memerintah mulai tahun 1270 tidak menyerah. Entah karena
optimisme atau karena kesombongannya. Kidung Panji Wijayakrama mencatat
sifatnya yang angkuh, ahangkara (terlalu percaya pada kekuatan dan
kekuasaannya). Ia menentang kekuasaan Tartar yang menjadi satu-satunya
superpower dunia.
Untuk menunjukkan
kedigdayaannya, Kertanegara melakukan politik ekspansif. Ia menaklukkan
kerajaan Melayu yang berpusat di Jambi. Kekuasaannya meluas sampai Selat
Malaka.
Sekalipun sukses
melakukan politik ekspansif, tetapi kehidupan politik domestik kacau. Seperti
yang dicatat Negarakretagama, yaitu terjadi pemberontakan Cayaraja,
pemberontakan Mahisa Rangkah. Semua pemberontakan memang bisa dipatahkan,
tetapi tak urung menyerap energi kerajaan.
Ketidakpuasan
rakyat semakin merebak akibat perubahan kebijakan politik domestik. Dengan
gelar Siwa-Budha, Kertanegara meyakini bahwa raja sebagai penguasa tunggal itu
selalu benar. Siapa yang berani berbeda, apalagi sampai membantah, sama dengan
merongrong kewibawaan raja.
Untuk itu aparat
pemerintah yang berani berbeda pendapat disingkirkan seperti yang dialami
Raganata yang terkenal sangat cerdas dan bijaksana. Raganata dipelorot dari
jabatan Patih Amangkubumi menjadi Ramadyaksa di Tumapel. Raganata
legowo (ikhlas) menerima keputusan itu.
Berbeda dengan
Pujangga Santasemetri yang tidak legowo. Untuk menutupi kekecewaannya,
ia memilih menyingkir ke hutan menjadi pertapa. Lain lagi dengan Wiraraja yang
diturunkan dari jabatannya sebagai demung menjadi Adipati Sumenep
(Madura), sangat tidak puas. Ia menyimpan dendam. Kemudian ia menjadi
provokator utama untuk menumbangkan Kertanegara.
Tataran puncak kaliyuga
terjadi pada tahun 1292. Raja bawahan Singasari, Jayakatwang dari Gelang-gelang
melakukan kudeta militer setelah diprovokasi Wiraraja. Kudeta dilakukan di saat
kekuatan militer Singasari kosong karena melakukan ekspansi ke mancanegara.
Kertanegara tewas mengenaskan dalam kudeta itu.
vvvvv
SEJARAH tidak
selalu dipahami sebagai garis yang menghubungkan titik-titik kemajuan. Ada yang
memahami sebagai cakra manggilingan (roda yang berputar). Jaman kaliyuga
sesuai kehendak jagat pernah hadir sebelum Kertanegara.
Empu Sedah dan
Empu Panuluh dalam Kakawin Bharatayudha sudah menulis jauh sebelumnya.
Setelah Raja Suyudana dari Astina meninggal dalam perang Bharatayudha melawan
Pendawa, tak ada lagi kekhawatiran ada yang akan membuat rusak. Untuk itu Wisnu
yang menitis pada Sri Kresna kembali ke alam kadewatan (tempat dewa).
Roda jaman
berputar. Angkara murka kembali merebak. Tanah Jawa yang digambarkan sebagai
mozaik dunia rusak. Rakyat dicekam ketakutan. Kejahatan merajalela karena tidak
ada lagi yang menjaga. Untuk itulah Wisnu datang lagi menjelma pada diri Prabu
Jayabaya di Daha. Berkat pemerintahan Jayabaya, tanah Jawa kembali aman
tenteram rakyatnya hidup sejahtera. Keadaan itu tidak abadi. Jaman kaliyuga
kembali datang dan membuat Daha terbelah menjadi Jenggala dan Kediri. Sampai
akhirnya lahirlah Singasari.
Siklus kaliyuga
memang selalu diwarnai dengan pergantian kekuasaan. Di akhir abad ke-15, kaliyuga
datang dengan menghancurkan Majapahit. Kekuasaan bergeser ke belahan tengah Jawa yaitu Demak,
dan puncak kejayaannya terjadi pada jaman Sultan Agung di Mataram.
Pada jaman
Amangkurat I yang memerintah Mataram mulai tahun 1646, datanglah jaman gelap.
Ketika raja tidak lagi menjadi seperti air bagi kehausan, bagaikan obor bagi yang
kegelapan, payung bagi yang kepanasan. Raja kehilangan watak ber budi bawa
leksana, menepati janji dan memiliki akal budi. Ketika penguasa lekang dari
amanat ke-Ilahi-an sebagai sayidin panetep panata gama kalipatullah,
pemimpin agama yang berpegang dan menata agama, wakil Tuhan di Bumi.
HJ De Graaf,
penulis sejarah tentang Mataram yang paling lengkap menggambarkan betapa rakyat
hidup dalam teror kekuasaan. Amangkurat I melumuri tangannya dengan darah
ribuan ulama, saudara-saudaranya, pejabat bawahannya, bahkan istri-istri dan
anak-anak.
Dalam kaliyuga
juga memperkenalkan balasan bagi angkara murka. Berlaku asas hukum ngunduh
wohing pakerti, memetik hasil perbuatan sendiri. Sama seperti nasib
Kertanegara, Amangkurat I mengakhiri hidupnya dengan tragis. Ia tewas pada
tanggal 28 Juni 1677 sebagai pelarian setelah diserang Trunajaya.
Kehadiran kaliyuga
digambarkan tidak selalu berkait dengan kekuasaan yang angkara murka. Raden
Ngabehi Ranggawarsita, pujangga tanah Jawa yang hidup di abad ke-19 lebih
melihat sebagai siklus sejarah. Semacam pepestan, takdir.
Ia memang
meratapi jaman itu dengan karya puisinya, Serat Kalatida, puisi jaman
gelap. Ia menulis: Mangkya darajating praja/kawuryan wus sunya ruri/rurah
pangrehing ukara/karana tanpa palupi. Tatkala derjat kerajaan sudah senyap,
aturan kacau, tiada kejernihan nalar, suasana seperti gila. Kegilaan bukan
karena penguasanya tidak becus. Buktinya ia melanjutkan: Ratune ratu
utama/patihe linuwih/pra nayaka tyas raharja/panakare becik-becik, rajanya
utama, menterinya ahli, kebijakan pejabatnya bagus.
Bisa jadi
Ranggawarsita memang tidak mau terang-terangan mengkritisi penguasa. Ia lebih
menggunakan sanepan (sindiran). Tatkala ia bicara darajating praja,
sebenarnya menuding raja karena inti dari kerajaan adalah raja. Bisa dimaklumi
karena dia adalah seorang pujangga istana. Dia orang Jawa priyayi yang sangat
eufemistis.
Gaya
Ranggawarsita inilah barangkali yang diduplikasikan Sri Sultan Hamengku Buwono
X ketika pada tanggal 1 Juli 1993 mengungkap gejala gara-gara (kekacauan)
dan jaman kalabendu, suatu jaman hukuman dan bencana. Gejalanya di jaman
ini persepsi terhadap aspek kehidupan yang legalistik. Persepsi ini menciptakan
suasana pendekatan yang kaku, dan kurang memberi tempat pada harkat dan
martabat kemanusiaan. Merebaknya budaya kekerasan, kebrutalan dan budaya perang
atau just war, yang kerap kali dipakai sebagai alasan untuk
mempertahankan diri.
Sri Sultan memang
tidak menuding munculnya jaman ini akibat kesalahan rezim Soeharto. Sebagai
orang Jawa priyayi, ia sangat eufemistik. Meskipun penggunaan istilah kalabendu
lebih bermakna sebagai hukuman Tuhan akibat perbuatan dosa manusia. Dalam dosa
kolektif, penguasa menempati urutan pertama karena sebagai penanggung jawab
masyarakatnya.
Dr Djoko Suryo,
pakar sejarah Universita Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengatakan, dilihat
fenomena yang disebut dalam kaliyuga yang memandang sejarah secara
spekulatif—sekarang ini kita hidup di jaman itu. “Lihat saja, kondisi negara
kan seperti yang digambarkan Kalatida. Pemerintah tidak berwibawa. Para
elite seperti tidak memiliki kejernihan berpikir. Kekacauan di mana-mana.
Rakyat dalam kebingungan. Kehidupan bangsa tidak ada arah,” katanya.
vvvvv
KALIYUGA, bagi mereka
yang memahami sejarah secara spekulatif, adalah siklus sejarah. Setelah itu
akan hadir jaman kertayuga atau ada yang menyebut kalakerta.
Bahkan boleh dibilang, kaliyuga adalah prasyarat hadirnya jaman kertayuga.
Suatu jaman emas. Jaman gemilang. Jaman yang digambarkan dengan: loh jinawi
gemah ripah tata tentrem kerta raharja. Gambaran keadaan negara ini pula
yang ingin diwujudkan Presiden Abdurrahman Wahid.
Tidak ada pakem
yang menyatakan berapa lama siklus itu berlangsung. Pada jaman Prabu Jayabaya,
siklus itu terjadi begitu cepat. Kertayuga terwujud pada saat dia memerintah.
Siklus dari jaman Kertanegara baru terjadi sekitar 60 tahun kemudian ketika
Majapahit sebagai kelanjutan Singasari diperintah Prabu Hayam Wuruk.
Hanya siklus
tidak terjadi dengan sendirinya. Melainkan melalui tangan Sang Pembebas atau
Ratu Adil. Paham ratu adil atau mesianisme begitu populer di kalangan rakyat.
Sudah menjadi mitos yang sangat kuat. Dalam pertumbuhannya ada pertautan antara
paham mesianisme Jawa dengan paham Imam Mahdi pada sebagian kelompok Islam.
Pertautan ini
semakin kuat karena Islam yang berkembang di Jawa ini sebagian dari paham Syiah
yang kental dengan ide mesianisme, yaitu hadirnya Imam ke-12. Maka
simbol-simbol gerakan mesianisme di Indonesia, khususnya Jawa merupakan
visualisasi perpaduan mesianisme Islam dengan tradisi Jawa.
Misalnya,
Jayabaya dalam teks tua menurut Dr J De Hollander (1848), diceritakan berguru
kepada Maulana Rum yang kalau melihat istilah maulana berarti Muslim. Jayabaya
juga diidentikkan dengan Ratu Sekti yang berasal dari Wali Allah. Banyak
gerakan ratu adil yang menyatakan memiliki pasukan sirullah berupa
malaikat, jin, lelembut.
Dalam tulisan
Prof Dr Sartono Kartodirdjo (1984), terbaca jelas perpaduan itu dalam pelbagai
gerakan keagamaan di Jawa abad ke-19 dan ke-20 yang bercorak mesianistik.
Misalnya, gerakan Pangeran Diponegoro yang menyandang nama Panembahan Erucakra,
gerakan Jasmani di Blital, gerakan Amat Ngisa di Jateng, gerakan Pak Jebrak di
Mojokerto, gerakan Kiai Kasan Mukmin di Sidoarjo, Nyi Aciah di Malangbong,
gerakan Dulmajid di Yogyakarta, gerakan Pulung, Srikaton, Imam Sujono di
Ponorogo.
Gerakan
mesianistik di akhir abad ke-20 diperkuat dengan ideologi milenaristik yaitu
akan hadirnya jaman emas di abad ke-21 yang dimulai dengan kehadiran ratu adil
atau Imam Mahdi di akhir abad ke-20. Seperti gerakan Muhammad Arif yang
menyandang nama Romo Bung Karno alias Imam Mahdi di Malang tahun 1998, gerakan
Samsuri di Banyuwangi tahun 1999.
Ramalan Alvin
Toffler bahwa abad ke-21 adalah abad kebangkitan agama, dalam kasus Indonesia
mendapat tuangan warna mesianistik dan milenarsitik. Kebangkitan agama lantas
divisualisasikan dengan kehadiran Sang Pembebas, corak gerakan berupa
pengaduk-adukan emosi melalui massalisasi kegiatan ritual keagamaan. Gerakan ini sering kali
bernuansa politis seperti show of force untuk menunjukkan dukungan atau
menggertak lawan.
Lantaran kuatnya
mitos ratu adil di hati rakyat, maka banyak tokoh yang memiliki visi populis
menggunakan paham ini untuk memperoleh dukungan rakyat. Maka yang paling awal
digarap menjadi pengikut adalah masyarakat yang frustasi dan tidak rasional,
atau ada yang mengistilahkan masyarakat paranoid. Penyebab frustasi bisa
macam-macam seperti kemiskinan yang menindih, ketakutan, konflik. Lapisan
masyarakat bawah menjadi sasaran empuk karena rendahnya tingkat berpikir secara
rasional.
Untuk itulah,
tokoh mesianistisme akan menjanjikan terwujudnya jaman kertayuga di mana
keadaan negara benar-benar loh jinawi
gemah ripah tata tentrem kerta raharja, tanamannya subur, harga-harga
murah, perdagangan dan pelayaran berkembang, aman tentram dan sejahtera. Tokoh
itu akan mencari legitimasi secara supranatural seperti ke kuburan orang-orang
suci, tempat-tempat yang dianggap keramat, benda-benda berkekuatan magis.
Pinjam istilah ROG Anderson (1972), itulah pandangan Jawa tradisional terhadap
konsep kekuasaan. Bahkan kekuasaan itu kongkret. Ada pada keris, kuburan,
tombak, jubah, tongkat, cincin, kutang, pulung, yaitu seberkas sinar
ghaib.
Bung Karno,
misalnya, seperti ditulis Dr Sindhunata (1999), datang ke petilasan Jayabaya
di Menang, Kediri (Jatim). Disaksikan banyak orang, setelah berdiam di tempat
itu selama sekitar tujuh menit mengaku telah menerima wahyu kedaton,
wakyu kenegaraan. Bung Karno pun dimitoskan sebagai ratu adil dan memiliki
kesaktian luar biasa seperti HOS Tjokroaminoto, guru politik Bung Karno. Bahkan
di mata Samsuri, Bung Karno tidak mati melainkan masih hidup di Alas Purwo
Banyuwangi. Muhammad Arief mengaku titisan Bung Karno sehingga berganti nama
Romo Bung Karno.
Sawito pada tahun
1970-an menobatkan diri menjadi ratu adil setelah mendapat wahyu di hutan
Ketangga, Ngawi. Ketangga diramalkan akan menjadi pusat kerajaan Prabu
Erucakra, ratu adil yang hidup di sekitar tahun 1900. Syamsuri mengaku mendapat
mandat sebagai juru selamat pada saat kiamat pada tanggal 9 September tahun
1999 jam 09.09. Ramalan yang ternyata meleset dan ia dipenjara karena membuat
keresahan masyarakat, sama nasibnya dengan Sawito dan Arif.
vvvvv
MESIANISME dalam
kurun sekarang bisa jadi tidak hanya dipersepsi dalam diri seorang tokoh. Bisa
dalam suatu gerakan atau institusi. Gerakan reformasi yang me-lengser-kan
Soeharto setelah 32 tahun berkuasa, bisa bergeser secara substansial menjadi
gerakan mesianisme bila tidak dikemas dalam suatu rasionalitas. Suatu konsep
strategi dan penataan untuk mewujudkan agenda-agenda reformasi secara
menyeluruh dan terpadu.
Kemungkinan
terjadinya pergeseran itu sangat besar. Kita memiliki kultur mesianistik,
milenaristik yang kuat. Pada saat reformasi berada di puncak dua tahun lalu,
ada yang melihat sebagai goro-goro yang mengawali datangnya satria
piningit yang dalam kata lain juga ratu adil.
Kultur
mesianistik ini bisa dipakai oleh elite kekuasaan untuk menutupi
ketidakmampuannya memecahkan persoalan secara rasional. Untuk jamu
kebingungannya menghadapi kompleksitas permasalahan. Untuk itulah, tokoh yang
memanfaatkan kultur ini, akan selalu membuat akrobat-akrobat politik yang
meluruhkan emosi rakyat. Akan membawa rakyat semakin dalam ke alam mesianistik
juga. Bahkan untuk itu, harus mengurbankan institusi yang bertumpu pada man
power of reason. Misalnya, menggunakan perguruan tinggi untuk melakukan ruwatan.
Di samping itu,
pergeseran juga karena lemahnya visi reformasi. Para mahasiswa yang menjadi
tombak reformasi hampir seluruhnya telah kembali ke kampus. Padahal merekalah
yang paling tahu visi reformasi. Maka pengendali reformasi seperti kosong. Yang
muncul kemudian adalah reformis gadungan dan oportunis yang muncul kemudian,
yang sebenarnya tidak punya visi reformasi. Kekuatan status-quo yang mengenakan
topeng reformasi.
Kalau reformasi
bersentuhan atau bahkan bergeser substansi menjadi gerakan ratu adilisme, pada
dasarnya telah berada dalam situasi yang sangat gawat. Bahkan telah kehilangan
makna. Yang tersisa hanyalah luapan euforia yang dahsyat. Kekuasan lantas
dipersepsi sebagai tumpeng yang dibagi-bagi sebagai rejeki nomplok.
Kebebasan lantas
diterjemahkan sebagai keleluasaan memaki-maki orang lain. Kebebasan lebih
berdimensi keliaran dan sesuka hati. Hak asasi lantas bergeser menjadi egoisme
tanpa mengindahkan sopan santun, tata susila, tata sosial, dan toleransi,
bahkan sarat dengan balas dendam, kebencian serta menegatifkan pihak lain.
Pergeseran secara
substansial ke mesianistik, menurut sosiolog Universitas Airlangga (Unair)
Surabaya, Dr Hotman M Siahaan, menciptakan fatalisme baru. Menjadikan
masyarakat tidak survive. “Ini jelas berlawanan dengan civil society
yang akan kita bangun. Karena civil society itu dibangun atas dasar civil
culture yang antara lain bertumpu pada rasionalitas, hukum,” katanya.
“Yang pasti,
kalau kita masih berpandangan mesianistik berarti kita kembali ke pra-modern.
Atau menunjukkan kita masih tradisional. Untuk mewujudkan cita-cita reformasi
butuh pemimpin rasional yang bisa melihat masalah secara jernih. Memiliki
konsep dan visi untuk membawa bangsa keluar dari krisis secara rasional,” tegas Djoko Suryo.
Mesianisme memang
menjadi obat mujarab, tetapi hanya untuk sementara waktu. Tatkala janji-janji kertayuga
hanyalah angin surga yang tanpa kenyataan, rakyat tetap terpuruk dalam
kemiskinan, kenistaan, penderitaan lahir batin, maka merebaklah kekecewaan
baru. L Stodard menganalogkan akhir gerakan mesianisme itu seperti padang
ilalang yang terbakar dan musnah dalam sekejap. Setelah itu tinggalkan serpihan
jelaga yang diterpa angin.
Kekecewaan baru akan membiakkan krisis kepercayaan yang lebih dahsyat. Rasa frustasi yang lebih berat. Hidup dalam sekarat. v