Kamis, 16 Desember 2010

STIE Mulia Pratama Melek Ekonomi Syariah



Cr39/RADAR BEKASI EKONOMI SYARIAH : Direktur Bank Syariah Kota Bekasi Buchori memberikan materi kepada mahasiswa STIE Mulia Pratama
BEKASI TIMUR – Pengurus Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia STIE Mulia Pratama bekerjasama Lembaga Dakwah Kampus (LDK) STIE Mulia Pratama mengadakan seminar ekonomi syariah untuk mahasiswa dan umum pada Minggu (12/12), lalu.

"Fakta sudah berbicara, bahwa sistem ekonomi konvensional yang selama ini diterapkan banyak negara di dunia, tidak hanya merugikan tetapi juga membahayakan umat manusia. Karena sistem ekonomi konvensional, yang diuntungkan hanyalah kelompok tertentu, bukan orang banyak”. Demikian papar Direktur Bank Syariah Kota Bekasi Buchori yang hadir dalam seminar.

Lebih lanjut Buchori mengatakan, keunggulan ekonomi syariah sudah tidak diragukan lagi. "Sudah banyak contoh keunggulan ekonomi syariah. Sayangnya, masih banyak masyarakat muslim yang belum melaksanakannya secara konsekuen, " ujar pria yang juga menjabat sebagai Sekjen Koperasi Syariah Indonesia (KOSINDO) itu.

Ia menjelaskan, ekonomi syariah mengajarkan tegaknya nilai-nilai keadilan, kejujuran, transparansi, antikorupsi, dan eksploitasi. Artinya, misi utamanya menegakkan nilai-nilai akhlak dalam aktivitas bisnis, baik individu, perusahaan, ataupun negara.

"Sebagai praktisi perbankan syariah, saya tetap optimis ekonomi syariah akan berkembang lebih baik, " ungkapnya. Selain mendapatkan materi mengenai ekonomi syariah para peserta seminar juga mendapatkan materi seputar motivasi diri bertema Inovated, Improved Or Die dari Motivator Afrizon.(cr39) - www.radar-bekasi.com at Selasa, 14 Desember 2010 , 14:27:00.

Kamis, 09 Desember 2010

Mengapa Komisi Antikorupsi Cenderung Dilemahkan?

Kampanye antikorupsi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agaknya tengah memasuki episode kritis seperti dilewati komisi-komisi antikorupsi serupa di banyak negara.

Sebagian sukses melewati priode itu sehingga komisi antikorupsi tumbuh kredibel, seperti Lithuania dan Bulgaria. Tapi, lebih banyak yang sulit berkembang seperti Nigeria, Kenya dan Bangladesh.

Di Nigeria, Olusegun Obasanjo memakainya untuk membunuh karakter lawan politiknya. Di Kenya, parlemen yang berkolusi dengan komunitas bisnis menjegal perkuatan komisi antikorupsi, dengan menanggalkan kewenangan investigasi padanya.

Langkah Kenya itu mirip dengan ajuan RUU Tipikor yang ditengarai Indonesia Corruption Watch sebagai upaya membatasi kewenangan KPK.

Sementara di Bangladesh, seperti banyak negara yang tergantung pada bantuan asing, komisi antikorupsi lebih untuk memoles wajah ekonomi nasional agar terlihat seksi bagi donor internasional.

Di negara-negara itu, kampanye antikorupsi dihambat segelintir kaum berpunya nan berkuasa yang terancam oleh kerja komisi antikorupsi.

Segelintir pihak itu, mengutip John R. Heilbrun dari World Bank Institute, diuntungkan oleh sistem pengelolaan ekonomi yang korup dan kolutif. Heilburn menamakannya dengan "kapitalisme perkoncoan."

"Para pembuat kebijakan memperoleh insentif jika berhasil melemahkan reformasi hukum dan menyingkirkan ancaman terhadap konstituennya yang amat berkuasa dan diuntungkan oleh birokrasi mandul, akses mudah ke proyek-proyek pemerintah, dan kerja sektor publik yang tidak efisien," kata Heilburn.

Stephen Haber dalam Crony Capitalism and Economic Growth in Latin America: Theory and Practice menambahkan, "Otoritas politik yang bekerja pada sistem kapitalisme perkoncoan --kepada mana segelintir orang mengerumuni sumbu kekuasaan-- menerima keuntungan ekonomi yang luar biasa besar dibandingkan dari yang bisa diberikan pasar normal."
Pada sistem demikian, lembaga antikorupsi dibuat hanya untuk membedaki wajah ekonomi demi mendapatkan akses dan rekomendasi pembiayaan internasional.

"Padahal, komisi antikorupsi yang hanya berupaya memuaskan negara donor dan semata untuk menenangkan desakan reformasi dari dalam negeri, umurnya akan pendek," kata Heilburn.

Karena tidak lahir dari kesepakatan atau konsensus nasional, maka tatkala kerja komisi antikorupsi kian efektif, birokrasi dan sistem penyelenggaran ekonomi yang kolutif, seketika melawannya.

Landasan-landasan hukum bagi komisi antikorupsi pun dipreteli lagi. Alasannya, takut menjadi lembaga super. Tentu saja itu menyenangkan para koruptor, karena mereka menjadi lebih leluasa mengerjakan praktik-praktik busuknya.

Konsensus
Keadaan serupa itu tak terjadi di negara-negara yang komisi antikorupsinya didirikan di atas konsensus nasional, seperti Lithuania, Estonia, dan Bulgaria.

Di sana, masyarakat dan elite kompak memperkuat komisi antikorupsi. Semua sadar bahwa komisi antikorupsi adalah kebutuhan pokok bagi penciptaan sistem kekuasaan yang bertanggungjawab dan bersih.

Titik tolak itu pula yang mendasari lahirnya sistem antikorupsi kredibel seperti Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) di Singapura, Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Hongkong, ICAC New South Wales di Australia, dan Office of Government Ethics (OGE) di Amerika Serikat.

Keempatnya menjadi model ideal bagi pembentukan komisi-komisi antikorupsi di seluruh dunia.

Meski model kewenangannya berbeda-beda, tetapi spirit dasarnya sama, yaitu memerangi korupsi dan menciptakan sistem penyelenggaraan negara yang bersih. Semuanya dilahirkan dari lingkungan dimana pejabat publik, birokrasi, dan penegak hukum dikendalikan kaum berduit yang korup.

Dari kerjanya, CPIB Singapura berorientasi investigasi, sementara ICAC Hongkong diembani tiga fungsi, yaitu investigasi, pencegahan dan sosialisasi.

Lalu, ICAC New South Wales lahir dari kesadaran parlemen mengenai perlunya lembaga khusus antikorupsi untuk memerangi kejahatan narkotika yang telah mencemari sistem birokrasi dan penegakkan hukum dengan aksi suap gila-gilaannya.

OGE lain lagi. Sistem ini tak dilimpahi wewenang investigasi dan hanya bertugas memberi haluan kepada pejabat publik mengenai etika berkebijakan dan batasan-batasan mengenai benturan kepentingan.

Sifat kerja OGE lebih preventif, yaitu meningkatkan pemahaman hukum pada sistem birokrasi. AS memakai model ini karena memiliki sistem penegakan hukum yang independen, efektif dan profesional.

KPK
Banyak negara yang mengadopsi empat model itu, namun sedikit yang berhasil. Bukan hanya karena landasan kesepakatan nasionalnya rendah, namun juga karena reformasi hukum hanya dituntutkan ke komisi antikorupsi, bukan kepada keseluruhan sistem.

Komisi antikorupsi kerap tak bergigi karena tak independen dari eksekutif, tak mendapat dukungan anggaran yang cukup dari parlemen untuk investigasi suap, dan tak mempunyai prosedur pelimpahan kasus ke peradilan.

Namun, pada KPK, semangat dan prinsip ideal kerja antikorupsi tampak lebih teraplikasikan, dibandingkan dengan misalnya Nigeria, Bangladesh, atau negara berkembang lainnya.

KPK menunjukkan kerja yang independen dengan tidak menjebakkan diri dalam permainan kekuasaan. Siapapun, dari bupati sampai gubernur, dari pejabat tinggi penegakkan hukum sampai anggota DPR dan kerabat kepala negara, diciduknya.

Kerja hukum seperti itu justru membuat bagian terbesar rakyat jatuh cinta pada KPK karena prinsip "semua warga negara sama di depan hukum" dan "hukum tidak pandang bulu," lebih hidup di KPK.

Rakyat melihat praktik hukum tak lagi melulu merujuk tafsir formal ketentuan-ketentuan tekstual yang acap kaku dan kadang manipulatif, tapi juga mengabdi pada pemenuhan rasa keadilan masyarakat.

Tentu, sejumlah kalangan tak menyukai kerja KPK. Mereka mungkin melakukan apa saja untuk menjegalnya, termasuk membajak sistem penegakan hukum dan sistem legislasi demi mempreteli kewenangan KPK, seperti parlemen Kenya melakukannya kepada Kenya Anti-Corruption Commission (KACC).

Parlemen memang akan menjadi pintu ke arah mana reformasi hukum bergulir, sehingga masyarakat perlu mengawasinya. Singapura, Hongkong, Australia, dan AS menyadari hal ini.

Mereka faham, pihak-pihak yang dirugikan komisi antikorupsi akan menggunakan pintu hukum untuk mengusik kampanye antikorupsi.

Tak heran keempat negara tak henti menyempurnakan landasan hukum bagi kerja sistem antikorupsi untuk mempersempit kemungkinan penyalahgunaan wewenang dan perbenturan kewenangan. Tetapi itu ditempuh tanpa membunuh semangat memerangi korupsi.

Upaya mereka dibarengi oleh sosialisasi intensif kepada masyarakat mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan korupsi. OGE misalnya, terus menegaskan batasan konflik kepentingan yang wajib dijauhi pejabat publik dan memberi skala sanksi bagi pelanggarnya.

Mungkin Indonesia tidak di level itu, tapi beberapa perkuatan dalam kampanye antikorupsi telah dicapai, setidaknya cara pandang masyarakat mengenai kejahatan korupsi bertambah maju dan kritis.

Itu ditambah pers independen yang antusias mengantarkan tumbuhnya masyarakat madani. Inilah yang tak dimiliki negara-negara yang gagal menegakkan komisi antikorupsi.

Tentu saja, segelintir orang yang diuntungkan oleh sistem kolutif, tidak menyukai keadaan itu.

Mungkin mereka akan terus melawan, tapi mereka mesti tahu bahwa zaman tak lagi memihak mereka. Mereka tak hanya akan melawan rakyat, tapi juga dunia yang sudah memaklumatkan perang terhadap korupsi.

"Korupsi menghancurkan kita semua, oleh karena itu memeranginya adalah tanggungjawab kita bersama." kata Antonio Maria Costa, Direktur Eksekutif UNODC, lembaga PBB untuk antikejahatan. (*)

Oleh: Jafar M. Sidik Sumber: ANTARA - PubDate: 11/11/09 12:31

Senin, 06 Desember 2010

Doa Akhir dan Awal Tahun Hijriah - Tahun Baru Islam

DOA AKHIR TAHUN HIJRAH
Doa Akhir Tahun dibaca 3 kali pada akhir waktu Asar atau sebelum masuk waktu Maghrib pada akhir bulan Zulhijjah. Sesiapa yang membaca doa ini, Syaitan berkata:
"Kesusahan bagiku dan sia-sia lah pekerjaanku menggoda anak Adam pada setahun ini dan Allah binasakan aku satu saat jua. Dengan sebab membaca doa ini, Allah ampunkan dosanya setahun"



DOA AWAL TAHUN
Doa Awal Tahun dibaca 3 kali selepas maghrib pada malam satu Muharram.
Sesiapa yang membaca doa ini, Syaitan berkata:
"Telah amanlah anak Adam ini daripada godaan pada tahun ini kerana Allah telah mewakilkan dua Malaikat memeliharanya daripada fitnah Syaitan".

Jumat, 26 November 2010

Sejarah Grobogan - Kabupaten Grobogan

Pada jaman Kerajaan Mataram, Susuhunan Amangkurat IV mengangkat seorang abdi bernama Ng. Wongsodipo menjadi Bupati monconagari (taklukan raja) Grobogan dengan nama RT Martopuro pada 21 Jumadil Akhir 1650 Saka atau 4 Maret 1726 M, dengan wilayah kekuasaannya yaitu : Sela, Teras Karas, Wirosari, Santenan, Grobogan, dan beberapa daerah di Sukowati bagian utara Bengawan Sala (serat Babad Kartasura / Babad Pacina : 172 - 174).
Oleh karena pada saat itu Kartasura masih dalam keadaan kacau, maka pengawasan terhadap daerah Grobogan diserahkan kepada kemenakan sekaligus menantunya bernama yaitu RT Suryonagoro (Suwandi) dan RT Martopuro sendiri masih tetap di Kartasura.
Tugas RT Suryonagoro adalah menciptakan struktur pemerintahan kabupaten pangreh praja, seperti adanya bupati, patih, kaliwon, pamewu, mantri, dan seterusnya sampai jabatan bekel di desa - desa Ibu kota kabupaten pada saat itu di Grobogan, tetapi pada tahun 1864 ibukota kabupaten pindah ke Purwodadi.
Sampai dengan tahun 1903, yaitu sebelum dikeluarkannya Decentralisatie Besluit oleh Pemerintah Penjahan Belanda, Indonesia yang waktu itu namanya masih Nederland Indie (Hindia Belanda) dibagi dalam beberapa Gewesten yang bersifat administratif yang kemudian dibagi-bagi lagi dalam Regentschap. Regentschap Grobogan saat itu berada dalam lingkungan Semarang Gewest.
Setelah diberlakukannya Decentralisatie Besluit tahun 1905, regentschap diberi hak-hak otonomi dan untuk itu dibentuk Dewan Daerah. Regentschap Grobogan memperoleh otonomi penuh mulai tahun 1908.
Pada tahun 1928, berdasarkan Staatbad 1928 No. 117, Kabupaten Grobogan mendapat tambahan dua distrik dari Kabupaten Demak yaitu Distrik Manggar dengan ibukota di Godong dan Distrik Singenkidul dengan ibukota di Gubug.
Kemudian pada tahun 1933 memperoleh tambahan Asistenan Klambu dari Distrik Undaan Kudus.
Pada masa pendudukan Jepang, terjadi perubahan tata pemerintahan daerah, yaitu dengan Undang-undang No. 27 tahun 1942. Menurut UU ini seluruh Jawa kecuali daerah Vorstenlanden dibagi atas : Syuu (Karesidenen), Si (Kotapraja), Ken (Kabupaten), Gun (Distrik), Son (Onder Distrik), dan Ku (Kelurahan/Desa).
Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18, Indonesia dibagi atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Dalam penjelasan pasal 18 ini, Daerah Indonesia akan dibagi dalam Daerah Propinsi dan Daerah Propinsi dibagi lagi dalam daerah yang lebih kecil.
Tahun 1948, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 1 UU ini menyatakan bahwa Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, yaitu : Propinsi, Kabupaten, Desa (Kota Kecil).
Selanjutnya berdasarkan UU No. 13 Tahun 1950 dibentuklah Daerah-daerah Tingkat II di lingkungan Propinsi Jawa Tengah. Dengan demikian UU inilah yang mendasari pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Grobogan.
Dengan Perda Kabupaten Dati II Grobogan No. 11 Tahun 1991 ditetapkan bahwa Hari Jadi Kabupaten Grobogan adalah:
Hari Senin Kliwon, 21 Jumadil Akhir 1650 atau 4 Maret 1726 atau 1 Rajab 1138 H, yaitu pada saat diangkatnya RT.
Martopuro sebagai Bupati Monconagari di Grobogan. Sehingga RT. Martopuro inilah yang sampai sekarang dianggap sebagai Bupati Grobogan yang pertama.

Chandra Sangkala : kombuling cipto hangroso jati
Surya Sangkala : kridhaning hangga hambangun praja

Nama-Nama Bupati yang pernah menjabat di Kabupaten Grobogan
A. Pada waktu Ibukota Kabupaten di Kota Grobogan
1. Adipati Martopuro atau Adipati Puger : 1726
2. RT. Suryonagoro Suwandi atau RT. Yudonagoro
3. RT. Kartodirjo : 1761 – 1768, pindahan dari
4. RT. Yudonagoro : 1768 – 1775, kemudian
5. R. Ng. Sorokarti atau RT. Abinoro
6. RT. Yudokerti atau Abinarong II : 1787 – 1795
7. RM. T. Sutoyuda : 1795 - 1801
8. RT. Kartoyudo : 1801 - 1815
9. RT. Sosronagoro I : 1815 - 1840
10. RT. Sosronagoro II : 1840 - 1864

B. Setelah Ibukota Kabupaten di Kota Purwodadi
11. RT. Adipati Martonagoro : 1864 - 1875
12. RM. Adipati Ario Yudonagoro : 1875 - 1908
13. RM. Adipati Ario Haryokusumo : 1902 - 1908
14. Pangeran Ario Sunarto : 1908 - 1933, Pencipta Trilogi Pedesaan yaitu:
di desa-desa harus ada Sekolah Dasar, Balai Desa, dan Lumbung Desa.
15. R. Adipati Ario Sukarman Martohadinegoro : 1933 - 1944
16. R. Sugeng : 1944 - 1946
17. R. Kaseno : 1946 - 1948, Bupati merangkap Ketua KNI
18. M. Prawoto Sudibyo : 1948 - 1949
19. R. Subroto : 1949 - 1950
20. R. Sadono : 1950 - 1954
21. Haji Andi Patopoi : 1954 - 1957, Bupati Kepala Daerah
22. H. Abdul Hamid sebagai Pejabat Bupati dan Ruslan sebagai Kepala Daerah, memerintah 1957 - 1958
23. R. Upoyo Prawirodilogo : Bupati Kepala Daerah merangkap Ketua DPRDGR : 1958 - 1964
24. Supangat : Bupati Kepala Daerah merangkap Ketua DPRGR : 1964 - 1967
25. R. Marjaban, Pejabat Bupati Kepala Daerah : 1967 - 1970
26. R. Umar Khasan, Pejabat Bupati Kepala Daerah : 1970 - 1977
27. Kolonel Inf. H. Soegiri, Bupati Kepala Daerah : 11 Juli 1977 s.d 11 Maret 1986
28. Kolonel H. Mulyono US : Bupati Kepala Daerah : 11 Maret 1986 s.d 11 Maret 1996
29. Kolonel Inf. Toermudi Soewito, Bupati Kepala Daerah : 11 Maret 1996 s.d 11 Maret 2001
30. Agus Supriyanto SE, Bupati Grobogan : 11 Maret 2001 - 2006
31. Bambang Pudjiono, Bupati Grobogan : 2006 - sekarang.

sumber: www.grobogan.go.id

Kamis, 25 November 2010

Persoalan-Persoalan Akhlaq Masa Kini

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dialami oleh manusia sekarang ini, tidak sedikit dampak negatifnya terhadap sikap hidup dan perilakunya; baik ia sebagai manusia yang beragama, maupun sebagai makhluk individual dan sosial.
Dampak negatif yang paling berbahaya terhadap kehidupan manusia atas kemajuan yang dialaminya, ditandai dengan adanya kecenderungan menganggap bahwa satu-satunya yang dapat membahagiakan hidupnya adalah nilai materiil, sehingga manusia terlampau mengejar materi, tanpa menghiraukan nilai-nilai spiritual yang sebenarnya berfungsi untuk memelihara dan mengendalikan akhlaq manusia.
Manusia pasti kehilangan kendali dan salah arah bila nilai-nilai spiritual ditinggalkan, sehingga mudah terjerumus ke berbagai penyelewengan dan kerusakan akhlaq, misalnya melakukan perampasan hak-hak orang lain, penyelewengan seks dan pembunuhan. Nilai-nilai spiritual yang dimaksudkan dalam Islam adalah ajaran agama yang berwujud perintah, larangan dan anjuran; yang kesemuanya berfungsi untuk membina kepribadian manusia dalam kaitannya sebagai hamba Allah serta anggota masyarakat. Mengejar nilai-nilai materi saja, tidak bisa dijadikan sarana untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki. Bahkan hanya menimbulkan bencana yang hebat, karena orientasi hidup manusia semakin tidak mempedulikan kepentingan orang lain, asalkan materi yang dikejar-kejarnya dapat dikuasainya, akhirnya timbul persaingan hidup yang tidak sehat. Sementara manusia tidak memerlukan lagi agama untuk mengendalikan segala perbuatannya, karena dianggapnya tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan hidupnya. Persaingan hidup yang tidak sehat, menimbulkan sikap tamak (rakus), yang sebenarnya merupakan salah satu wujud ketegangan jiwa (stres), sehingga Imam Al-Ghazaly menyebutnya sebagai istilah min ‘alaamaati marodlilqolbi (sebagian gejala penyakit jiwa); yang penanggulangannya tidak lain, kecuali menanamkan pada diri kita sikap kesederhanaan dan perasaan kecukupan (al qonaa’ah). Dan besar kemungkinan, orang yang terlalu mengejar nilai materi, membuat dirinya kikir (al bukhlu) yang penanggulangannya tidak lain sikap pemurah (as-sakho’).
Imam Al-Ghazaly membagi tingkatan keburukan akhlaq menjadi empat macam; yaitu :
1. Keburukan akhlaq yang timbul karena ketidaksanggupan seseorang mengendalikan nafsunya, sehingga pelakunya disebut al-jaahil.
2. Perbuatan yang diketahui keburukannya, tetapi ia tidak bisa meninggalkannya karena nafsunya sudah menguasai dirinya, sehingga pelakunya disebut al-jaahiludl-dloollu.
3. Keburukan akhlaq yang dilakukan oleh seseorang, karena pengertian baik baginya sudah kabur, sehingga perbuatan buruklah yang dianggapnya baik. Maka pelakunya disebut al-jaahiludl-dloollulfaasiq.
4. Perbuatan buruk yang sangat berbahaya terhadap masyarakat pada umumnya, sedangkan tidak terdapat tanda-tanda kesadaran bagi pelakunya, kecuali hanya kekhawatiran akan menimbulkan pengorbanan yang lebih hebat lagi. Orang yang melakukannya disebut al-jaahiludl-dloollulfaasiqusy-syariir.
Menurut Al-Ghazaly, tingkatan keburukan akhlaq yang pertama, kedua dan ketiga masih bisa dididik menjadi baik, kedua dan ketiga masih bisa dididik menjadi baik; sedangkan tingkatan keempat, sama sekali tidak bisa dipulihkan kembali. Karena itu, agama Islam membolehkannya untuk memberikan hukuman mati bagi pelakunya, agar tidak meresahkan masyarakat umum. Sebab kalau dibiarkan hidup, besar kemungkinannya akan melakukan lagi hal-hal yang mengorbankan orang banyak. Disini hanya dikemukakan sebagian kecil keburukan akhlaq yang dilakukan dengan menggunakan peralatan modern untuk mencapai maksud-maksud jahatnya; antara lain penggunaan bahkan narkotika bagi remaja-remaja dan pembajakan di atas pesawat bagi orang dewasa.
Begitu canggihnya peralatan yang digunakan dalam melakukan kejahatan, membuat petugas keamanan tidak bisa menemukannya, akibatnya dapat menelan banyak pengorbanan. Maka ukuran kesejahteraan dan kebahagiaan hidup, tidak dapat dinilai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia, kecuali harus disertai dengan nilai-nilai spiritual (agama), yang di dalamnya terdapat nilai-nilai akhlaq mulia.
Agama Islam tidak melarang manusia memiliki kemajuan disegala bidang kehidupan, bahkan mewajibkannya, sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidupnya. Hanya yang dilarang dalam agama, bila kemajuan itu, digunakan untuk menghancurkan aqidah Islamiyah, dan mendatangkan bencana kehidupan makhluk di bumi ini. Kalau kita kembali memperhatikan ayat-ayat akhlaq yang bertebaran dalam Al-Qur’an beserta asbab nuzulnya, maka dapat diperoleh kesan bahwa betapa hancurnya tatanan hidup masyarakat sebelum datangnya Islam. Kehancuran manusia yang dihadapi oleh Islam sejak lahirnya, sama keadaannya dengan kehancuran akhlaq bangsa Romawi dan Persia, yang terkenal dengan ketinggian kebudayaannya. Lalu dapat lagi dijadikan tolok ukur bahwa ketinggian kebudayaan tidak memberi jaminan untuk melakukan perbuatan yang manusiawi, kecuali kalau manusia itu tetap melakukan petunjuk agamanya. Banyak sekali petunjuk dalam agama yang dapat dijadikan sarana untuk memperbaiki akhlaq manusia; antara lain anjuran untuk selalu bertaubat, bersabar, bersyukur, bertawakkal, mencintai orang lain, mengasihani serta menolongnya. Anjuran-anjuran itu, sering didapatkan dalam ayat-ayat akhlaq, sebagai nasehat bagi orang-orang yang sering melakukan perbuatan buruk. Itu terbukti bahwa akhlaq buruk dapat dididik menjadi baik, kecuali tingkatan akhlaq buruk yang keempat tadi. Karena itu, Imam Al-Ghazaly mengatakan: “ Seandainya akhlaq tidak bisa diubah, maka pasti tidak ada manfaatnya memberikan pesan-pesan, nasehat-nasehat dan didikan “ (Al-Ghazaly, Ihyaa’ ‘Ulumiddin, Juz III-hl. 54).
Secara normatif, pendidikan akhlaq sudah ada dalam Al-Qur’an dan Hadits, tinggal kita merumuskannya secara operasional, sehingga dapat diterapkan pada peserta didik; baik yang menyangkut perkembangan anak manusia, maupun tempat dilaksanakannya pendidikan itu. (•than mas) - dinukil dari: Drs. Mahjuddin ,”Kuliah Akhlaq-Tasawuf “, Kalam Mulia.

Kamis, 01 Juli 2010

Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) per 1 Juli 2010

Skema kenaikan tarif dasar listrik (TDL) rata-rata 10% per 1 Juli 2010 yang sudah disepakati pemerintah dan DPR yaitu:
Pelanggan 450 VA – 900 VA tidak mengalami kenaikan
Pelanggan 6600 VA ke atas golongan rumah tangga, bisnis, dan pemerintah, dengan batas hemat 30 persen tidak naik karena tarif listriknya sudah mencapai keekonomian.
Pelanggan Sosial dinaikkan sebesar 10%
Pelanggan Rumah Tangga lainnya dinaikkan sebesar 18%
Pelanggan Bisnis naik sebesar 12% hingga 16%
Pelanggan Industri lainnya sebesar 6%-15%
Pelanggan Pemerintah lainnya sebesar 15%-18%
Pelanggan Traksi (untuk keperluan KRL) naik sebesar 9%
Pelanggan Curah (untuk apartemen) naik 15%
Pelanggan Multiguna (untuk pesta, layanan khusus) naik 20%

Berikut rincian kenaikan tersebut:
Rumah tangga
1.300 VA Rp 672/kwh jadi Rp 793/kwh, naik 18 persen dengan estimasi tambahan rekening per bulan Rp 24.000
2.200 VA Rp 675/kwh jadi Rp 797/kwh, naik 18 persen dengan estimasi tambahan rekening per bulan Rp 43.000
3.500 s/d 5.500 VA Rp 755/kwh jadi Rp 891/kwh, naik 18 persen dengan estimasi tambahan per bulan Rp 87.000

Bisnis
1.300 VA Rp 685/kwh jadi Rp 795/kwh, naik 16 percent dengan estimasi tambahan rekening per bulan Rp 22.000
2.200 VA-5.500 VA. Rp 782/kwh jadi Rp 907/kwh, naik 16 persen, dengan estimasi tambahan rekening per bulan Rp 38.000
>200 kilo VA (KVA) Rp 811/kwh jadi Rp 908/kwh, naik 12 persen, dengan estimasi tambahan rekening per bulan Rp 20.653.000 per bulan.

Industri
1.300 VA Rp 724/kwh jadi Rp 767/kwh, naik 6 persen, dengan estimasi tambahan rekening per bulan Rp 8.000
2.200 VA Rp 746/kwh jadi Rp 790/kwh, naik 6 persen, dengan estimasi tambahan rekening per bulan Rp 12.000
2.200 VA - 14 kVA Rp 840/kwh jadi Rp 916/kwh, naik 9 persen, dengan estimasi tambahan rekening per bulan Rp 66.000
>14 kVA - 200 kVA Rp 805/kwh jadi Rp 878/kwh, naik 9 persen, dengan estimasi tambahan rekening per bulan Rp 822.000
>200 kva. Rp 641/kwh jadi Rp 737, naik 15 persen, dengan estimasi tambahan rekening per bulan Rp 30.227.000
>30.000 kVA Rp 529/kwh jadi Rp 608/kwh, naik 15 persen, dengan estimasi tambahan rekening per bulan Rp 1.315.696.000 per bulan

(sumber: http://us.detikfinance.com/)

Senin, 14 Juni 2010

NEP: New Economics Papers Accounting and Auditing (2010-06-11, 9 papers)



---------- Forwarded message ----------
From: Alexander Harin <ernad@nep.repec.org>
Date: 2010/6/14
Subject: [nep-acc] 2010-06-11, 9 papers
To: nep-acc@lists.repec.org


NEP: New Economics Papers
Accounting and Auditing

Edited by: Alexander Harin
Modern University for the Humanities
Issue date: 2010-06-11
Papers: 9
Note: Access to full contents may be restricted.
NEP is sponsored by SUNY Oswego.

In this issue we have:

  1. Calculating tax shields from financial expenses with losses carried forward
    Ignacio Velez Pareja
  2. State Corporation Income Taxation: An Economic Perspective on Nexus
    David E.Wildasin
  3. Tax Evasion and Community Effects in Italy
    Francesco Flaviano Russo
  4. Firm valuation: tax shields & discount rates
    Ansay, Thomas
  5. Accounting and the welfare-state: The missing link
    Oehr, Tim-Frederik; Zimmermann, Jochen
  6. Fiscal Illusion and Fiscal Obfuscation:An Empirical Study of Tax Perception in Sweden
    Sanandaji, Tino; Wallace, Björn
  7. The Economic Effects of Replacing the Property Tax with a Sales or Income Tax:A Computable General Equilibrium Approach
    Dagney Faulk; Nalitra Thaiprasert; Michael Hicks
  8. Are Democrats conservative? Towards a theory of the role of standard setters in standard setting
    Abigail McIntosh Allen; Karthik Ramanna
  9. The fiscal anatomy of a regulatory polity: Tax policy and multilevel governance in the EU
    Genschel, Philipp; Jachtenfuchs, Markus

Contents.

  1. Date: 2010-06-03
    By: Ignacio Velez Pareja
    URL: http://d.repec.org/n?u=RePEc:col:000162:007071&r=acc
    When calculating the Weighted Average Cost of Capital (WACC), the well-known textbook formula includes tax shields with the (1-T) factor affecting the contribution of debt to WACC. In this work we develop a procedure for properly calculating tax shields including the case when Losses Carried Forward are allowed and there is Other Income. The proper calculation of tax shields is relevant because the value of tax shields might be a substantial part of firm value. We show that tax shields depend on Earnings before Interest and Taxes and therefore the risk of tax shields is the risk of the free cash flow; this is the cost of unlevered equity.
  2. Date: 2010
    By: David E.Wildasin (University of Kentucky)
    URL: http://d.repec.org/n?u=RePEc:btx:wpaper:1011&r=acc
    Acting in the interest of their residents, within limits imposed by Federal statute and by the Constitution, states have incentives to impose taxes on the profits of corporations owned by nonresidents. This paper presents a model within which a state, using an apportionment formula that includes a sales factor, would choose to tax the income of out-of-state corporations that derive revenues from the sale or licensing of intangible assets to in-state customers, provided that such corporations have sufficient nexus to be taxable. Although such policies enable states to capture rents from nonresidents, they also introduce tax distortions by imposing implicit tariffs on sales by out-of-state firms.
    Keywords: Corporate Taxation, Nexus
  3. Date: 2010-06-03
    By: Francesco Flaviano Russo (University of Napoli Federico II and CSEF)
    URL: http://d.repec.org/n?u=RePEc:sef:csefwp:254&r=acc
    I propose an analysis of tax evasion in Italy using the data collected by the website evasori.info. This site collects reports by random internet users of the transactions in which they were involved that, lacking any legal receipt, were hidden from the tax authority. I interpret this experiment as a test of the attitude towards tax evasion by the community in which the tax offender operates: less reported episodes are an indication of a more lenient attitude. Since a more lenient attitude of the community is a lower cost of evading taxes, a smaller number of reports must be associated to less tax evasion. I show that the data confirm this claim. I also show that the presence of younger, less educated individuals and the size of the irregular labor force are associated to a more lenient attitude towards tax evasion.
    Keywords: Tax Morale, Tax Evasion Reports
    JEL: K34
  4. Date: 2009-09-21
    By: Ansay, Thomas
    URL: http://d.repec.org/n?u=RePEc:pra:mprapa:23027&r=acc
    This paper proposes a new discounted cash flows' valuation setup, and derives a general expression for the tax shields' discount rate. This setup applies to any debt policy and any cash flow pattern. It only requires the equality at any time between the assets side and the liabilities side of the market value balance sheet, which has been introduced by Farber, Gillet and Szafarz (2006). This concept is extensively developed in the paper. This model encompasses all the usual setups that consider a fixed discount rate for the tax shields and require a fixed level of debt or a fixed leverage ratio, in particular Modigliani & Miller (1963) and Harris & Pringle (1985). It proposes an endogenized and integrated approach and modelizes the different market value discount rates as functions of both their relevant leverage ratio and the operating profitability of the firm. Among these rates are the cost of debt and the tax shields' discount rate, which are usually assume constant. In this model, all the discount rates are likely to vary as soon as perpetuity cases are not considered. This setup introduces a new rate for the cost of levered equity without tax shields and develops the relation between the present value of tax shields and the market value of equity since debt tax shields entirely flow to equity. It only requires the risk free rate and the unlevered cost of capital as inputs but not the capital structure of the firm, as it tackles the circularity problem by considering an iterative approach. This fully dynamic model yields both theoretical and economic sensible results, and allows straightforward applications. It apparently solves the discrepancies of the usual setups and hopefully paves the way for further research.
    Keywords: Discounted Cash Flow; Tax Shields; Discount Rates; Cost of Equity; Cost of Capital; Tax Shield Risk; Adjusted Present Value; Equity Cash Flow
    JEL: O16
  5. Date: 2010
    By: Oehr, Tim-Frederik
    Zimmermann, Jochen
    URL: http://d.repec.org/n?u=RePEc:zbw:sfb597:121&r=acc
    In recent years, accounting regulation has been internationalized with the extensive use and adoption of International Financial Reporting Standards (IFRS) by nation-states, which points at least to a formal convergence between accounting regulatory systems. However, major differences between national accounting systems persist. In this paper, it is argued that a country's accounting system is influenced by the type of the welfare-state. This allows us to see accounting in a broader social perspective. The societal attitudes influencing the accounting system are captured by using the Esping-Andersen (1990) classification of welfare states. To show that there is a connection between the typology of welfare-states and the way in which various corporate constituencies' interests are balanced, we compare Germany as an example of a conservative welfare-state and the UK as an example of a liberal welfare-state. This comparison shows that the type of welfare state exerts an influence on the system of accounting and, therefore, can be seen as an explanatory variable for persisting differences between accounting regulatory systems. -- In den letzten Jahren deuten zahlreiche Veränderungen im Bereich der nationalen Regulierung der Rechnungslegung zumindest auf eine formale Konvergenz zwischen den regulatorischen Systemen der Rechnungslegung hin. Abgeleitet werden kann dies aus der mittlerweile weitreichenden Anwendung und Einführung des internationalen Rechnungslegungsstandardwerkes IFRS durch zahlreiche Nationalstaaten. Allerdings bestehen auch weiterhin wesentliche Unterschiede zwischen nationalen Rechnungslegungssystemen fort. Mit diesem Arbeitspapier wird die Hypothese vertreten, dass das Rechungslegungssystem in einem Land und damit die Unterschiede zwischen Ländern maßgeblich durch den Typ des Wohlfahrtsstaates beeinflusst werden. Dieses erlaubt eine weitergefasste gesellschaftliche Perspektive auf den Bereich der Rechungslegungsregulierung. Die einflussnehmenden gesellschaftlichen Werte werden hierbei durch die Wohlfahrtsstaatentypologie von Esping-Andersen (1990) erfasst. In einem abschließenden Länderfallbeispiel werden Deutschland (konservativer Wohlfahrtsstaatstyp) sowie Großbritannien (liberaler Wohlfahrtsstaatstyp) miteinander verglichen. Hierbei soll gezeigt werden, dass eine Verbindung zwischen dem Typ des Wohlfahrtsstaates und der Art und Weise besteht, wie Interessen verschiedener Anspruchsgruppen des Unternehmens ausgeglichen werden. Der Vergleich zeigt, dass ein Zusammenhang zwischen dem Wohlfahrtsstaatstyp und der Rechungslegungsregulierung hergestellt werden kann. Der Wohlfahrtsstaatstyp ist dementsprechend als ein wesentlicher Erklärungsfaktor für den Fortbestand von nationalen Unterschieden in der Rechnungslegungsregulierung zu sehen.
  6. Date: 2010-05-31
    By: Sanandaji, Tino (Research Institute of Industrial Economics (IFN))
    Wallace, Björn (Stockholm School of Economics)
    URL: http://d.repec.org/n?u=RePEc:hhs:iuiwop:0837&r=acc
    In this paper we present survey evidence suggesting that there exists a sizeable fiscal illusion amongst the general public in Sweden. Respondents in a nation-wide and representative survey systematically underestimate the share of an ordinary worker's income that is transferred to the public sector. Furthermore, we make a theoretical distinction between tax illusion and fiscal obfuscation, a proposed novel type of fiscal illusion. It has previously been assumed that fiscal illusion derives from a fragmentized tax system with many small, and largely invisible, taxes which tend to be ignored or underestimated by the tax payers. We hypothesize that this systematic bias could in addition emanate from misapprehensions of the real incidence of a tax. Evidence is presented that this could apply even when taxes are few and large, contrary to the tax complexity hypothesis. When this misperception derives from seemingly deliberate tax design and tax labeling, as appears to be the case with the payroll taxes in Sweden, we call it fiscal obfuscation.
    Keywords: Fiscal Illusion; Fiscal Obfuscation; Tax Illusion; Tax Labeling; Tax Structure; Personal Income Taxation
    JEL: H11
  7. Date: 2010-06
    By: Dagney Faulk (Center for Business and Economic Research, Miller College of Business, Ball State University)
    Nalitra Thaiprasert (Center for Business and Economic Research, Miller College of Business, Ball State University)
    Michael Hicks (Center for Business and Economic Research, Miller College of Business, Ball State University)
    URL: http://d.repec.org/n?u=RePEc:bsu:wpaper:201008&r=acc
    With the most recent wave of property tax restructuring in the U.S., policy makers have considered the possibility of replacing the property tax. In this analysis we use data for Indiana and a short-run computable general equilibrium model to examine the effects of replacing the property tax with a sales or income tax. We find that replacing the property tax with a sales or income tax has a relatively small effect on aggregate economic variables. Aggregate output in the state decreases by 2 to 3 percent. Larger effects are apparent when analyzing household groups and industry sectors. Replacing the property tax with a sales or income tax decreases household income by over three percent with the income tax being most regressive. Replacing the property tax has a negative effect on sales revenue for most industry sectors with retail sales and several other sectors experiencing large (over five percent) decreases.
    Keywords: property tax, sales tax, income tax, computable general equilibrium models
    JEL: H71
  8. Date: 2010-05
    By: Abigail McIntosh Allen (Harvard Business School)
    Karthik Ramanna (Harvard Business School, Accounting and Management Unit)
    URL: http://d.repec.org/n?u=RePEc:hbs:wpaper:10-105&r=acc
    We investigate the role of standard setters in standard setting. In particular, we examine how the backgrounds and personal politics of FASB members influence the nature of accounting standards proposed between 1973 and 2007. Among other results, we find that length of service on the board and a prior career in investment banking/ investment management are associated with proposing standards perceived as decreasing accounting "reliability;" while affiliation with the Democratic Party is associated with proposing standards perceived as increasing accounting "reliability." Broadly, the evidence suggests that individuals on the FASB have a wider influence in the political economy of standard setting than is currently understood.
    Keywords: accounting, FASB, politics, relevance, reliability, standard setting
    JEL: D72
  9. Date: 2010
    By: Genschel, Philipp
    Jachtenfuchs, Markus
    URL: http://d.repec.org/n?u=RePEc:zbw:sfb597:114&r=acc
    The paper analyzes the common assumption that the EU has little power over taxation. We find that the EU's own taxing power is indeed narrowly circumscribed: its revenues have evolved from rather supranational beginnings in the 1950s towards an increasingly intergovernmental system. Based on a comprehensive analysis of EU tax legislation and ECJ tax jurisprudence from 1958 to 2007, we show that at the same time, the EU exerts considerable regulatory control over the member states' taxing power and imposes tighter constraints on member state taxes than the US federal government imposes on state taxation. These findings contradict the standard account of the EU as a regulatory polity which specializes in apolitical issues of market creation and leaves political issues to the member states: despite strong safeguards, the EU massively regulates the highly salient issue of member state taxation. --

This nep–acc issue is ©2010 by Alexander Harin. It is provided as is without any express or implied warranty. It may be freely redistributed in whole or in part for any purpose. If distributed in part, it must include this copyright notice. It may not be sold, or placed in something else for sale.
General information on the NEP project can be found at http://nep.repec.org/. For comments please write to the director of NEP, Marco Novarese at < director @ nep point repec point org >.

_______________________________________________
nep-acc mailing list
nep-acc@lists.repec.org
http://lists.repec.org/mailman/listinfo/nep-acc



--
============================================
Jl. H. M. Joyomartono Kav. 5 (Traffic Light Tol Bekasi Timur)
Kel. Margahayu, Bekasi Timur - 17113
Telp. +6221-8835 3599 ; 8835 4599
Fax. +6221-8835 9799

Senin, 07 Juni 2010

7 (tujuh) Dosa Sosial

Ini adalah 7 (Tujuh) Dosa Sosial menurut Mahatma Gandhi -- > Klik Disini

Bagaimana menurut penilaian Anda dengan kondisi di Indonesia saat ini???

Senin, 31 Mei 2010

Kuesioner/Tracer Alumni STIE Mulia Pratama

Yang terhormat seluruh Alumni STIE Mulia Pratama untuk mengisi dengan jelas dan lengkap Kuesioner/Tracer Alumni STIE Mulia Pratama. Download Kuesioner Disini, dan setelah diisi mohon dikirim ke-email: stiemp@gmail.com

Demikian disampaikan, atas partisipasinya diucapkan terima kasih.

Jadwal Piala Dunia 2010 Afrika Selatan

Anda ingin mengetahui Jadwal Pertandingan Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, dapatkan disini!

Selasa, 18 Mei 2010

NEP: New Economics Papers Accounting and Auditing


NEP: New Economics Papers

Accounting and Auditing

Edited by: Alexander Harin
Modern University for the Humanities
Issue date: 2010-05-08
Papers: 5
Note: Access to full contents may be restricted.
NEP is sponsored by SUNY Oswego.

In this issue we have:

  1. KEEPING ACCOUNTS BY THE BOOK: THE REVELATION(S) OF ACCOUNTING
    Vassili Joannides; Nicolas Berland
  2. Optimal Taxes on Wealth and Consumption in the Presence of Tax Evasion
    Johann K. Brunner; Paul Eckerstorfer; Susanne Pech
  3. Firm Valuations, the Cost of Capital and the Tax Treatment of Capital Gains
    Chris Jones
  4. Property Value Assessment Growth Limits, Tax Base Erosion and Regional In-Migration
    Skidmore, Mark; Tosun, Mehmet S.
  5. Ownership concentration and audit fees: do auditors matter most when investors are protected least?
    Ben Ali Chiraz; Cédric Lesage

Contents.

  1. Date: 2010
    By: Vassili Joannides (GGSB - Grenoble Graduate School of Business - Grenoble Ecole de Management)
    Nicolas Berland (DRM - Dauphine Recherches en Management - CNRS : UMR7088 - Université Paris Dauphine - Paris IX)
    URL: http://d.repec.org/n?u=RePEc:hal:gemptp:hal-00477759_v1&r=acc
    Our paper addresses what the moral foundations of accounting are, regardless of capitalistic operations, as we are seeking to trace a genealogy of accounting thinking disconnected from coincidence with Capitalism. We demonstrate that the three monotheisms have bared the core of accounting. We purport to explicate how the three monotheisms (Judaism, Christianity divided into Roman Catholicism and Protestantisms, and Islam) have successively revealed the nature of accounting to moralise people's day-to-day conduct. Our approach to the revelation of accounting is informed with practice theory to study how accounting was used in believers' day-today activities and faith management. To this end, we read theological debates on accounting from Rabbinic, Islamic, Catholic and Protestant literatures raised at the time of the Reformation. Our study reveals that, in the four religions, bookkeeping serves as routine and rules to account for daily conduct, its content being contingent upon common understandings (viz. God's identity, capabilities and expectations) and teleoaffective structures (viz. definition of and ways to salvation). Through this paper, we demonstrate that accounting issues have always served as a sub-practice in moral practices and is therefore not necessarily coincidental with economic operations. Ultimately, we contribute to literature on the genesis of accounting, accounting as situated practice and accounting as moral practice.day-today activities and faith management. To this end, we read theological debates on accounting from Rabbinic, Islamic, Catholic and Protestant literatures raised at the time of the Reformation. Our study reveals that, in the four religions, bookkeeping serves as routine and rules to account for daily conduct, its content being contingent upon common understandings (viz. God's identity, capabilities and expectations) and teleoaffective structures (viz. definition of and ways to salvation). Through this paper, we demonstrate that accounting issues have always served as a sub-practice in moral practices and is therefore not necessarily coincidental with economic operations. Ultimately, we contribute to literature on the genesis of accounting, accounting as situated practice and accounting as moral practice.
    Keywords: religion, accounting, Catholicism, Protestantism, Judaism, Islam, Control as practice
  2. Date: 2010-03
    By: Johann K. Brunner
    Paul Eckerstorfer
    Susanne Pech
    URL: http://d.repec.org/n?u=RePEc:jku:econwp:2010_04&r=acc
    This article incorporates tax evasion into an optimum taxation framework with individuals differing in earning abilities and initial wealth. We find that despite the possibility of its evasion a tax on initial wealth should supplement the optimal nonlinear income tax, given a positive correlation between initial wealth and earning abilities. Further, even if income and initial wealth are taxed optimally, it is still desirable to levy a tax on commodities, though it can be evaded as well. Thus, our result provides a rationale for a comprehensive tax system. Optimal tax rates on commodities differ in general, however for the special case of a uniform evasion technology it turns out that equal rates are optimal if preferences are homothetic and weakly separable.
    Keywords: Optimal Taxation, Tax Evasion
    JEL: D82
  3. Date: 2010-04
    By: Chris Jones
    URL: http://d.repec.org/n?u=RePEc:acb:cbeeco:2010-518&r=acc
    By recognising the cash flow characteristics of personal taxes on dividends Auerbach, Bradford and King find they reduce the current value of a firm's equity without affecting the marginal cost of capital funded from retained earnings. This paper draws on work by Boadway and Bruce to show why personal taxes levied on realized capital gains have the same effects, where the common practice of approximating them with accrual based taxes set at lower rates is misleading. We use these findings to recommend reforms to dividend imputation schemes that would convert progessive personal taxes on (taxed) equity income into accrual based taxes.
    JEL: H20
  4. Date: 2010-04
    By: Skidmore, Mark (Michigan State University)
    Tosun, Mehmet S. (University of Nevada, Reno)
    URL: http://d.repec.org/n?u=RePEc:iza:izadps:dp4906&r=acc
    In 1994 a limit on the growth of property values for tax purposes was imposed in Michigan. One consequence of the newly imposed assessment growth cap was an emerging differential in tax prices between potential new property owners and long-time property owners. The purpose of this paper is to examine the impact of this growing tax price differential on migration patterns. Using county level data on migration activity over the 1994-2006 period, we present evidence that differential tax prices resulting from the assessment growth cap have reduced in-migration.
    Keywords: property tax, tax base erosion, regional migration, Michigan
    JEL: H71
  5. Date: 2010
    By: Ben Ali Chiraz (ESC Amiens - ESC Amiens)
    Cédric Lesage (GREGH - Groupement de Recherche et d'Etudes en Gestion à HEC - GROUPE HEC - CNRS : UMR2959)
    URL: http://d.repec.org/n?u=RePEc:hal:journl:hal-00476923_v1&r=acc
    Minority expropriation could result when controlling shareholders can expropriate minority shareholders and profit from private benefits of control. This agency conflict (named Type II) has been rarely studied, as the most commonly assumed agency conflict resides between managers and shareholders (Type I). We want to study the role of the auditors in reducing the type II agency conflict. Using an audit fees model derived from Simunic (1980), we study the impact of type I and type II agency conflicts on audit fees in code law vs common law countries. We then focus two civil law countries (Germany and France) providing a lower investor protection level, and two common law countries (the USA and UK) providing a higher investor protection level (La Porta et al. 1998, 2000). Our results show 1) a negative relation between audit fees and managerial shareholding, which is stronger for common law than for civil law countries; 2) a curvilinear (concave) relation between audit fees and controlling shareholding for civil law countries; 3) no Type II conflict in the common law countries. These results illustrate the mixed effects of the legal environment and of each agency conflict on audit fees.

This nep–acc issue is ©2010 by Alexander Harin. It is provided as is without any express or implied warranty. It may be freely redistributed in whole or in part for any purpose. If distributed in part, it must include this copyright notice. It may not be sold, or placed in something else for sale.
General information on the NEP project can be found at http://nep.repec.org/. For comments please write to the director of NEP, Marco Novarese at < director @ nep point repec point org >.

_______________________________________________
nep-acc mailing list
nep-acc@lists.repec.org
http://lists.repec.org/mailman/listinfo/nep-acc



--
"Apa salahnya berbuat Baik, dan apa baiknya berbuat Salah !!"

-- STIE Mulia Pratama on the Web ... Click --
http://stiemuliapratama.webs.com

http://maps.google.com/maps/ms?ie=UTF8&hl=en&msa=0&msid=102803683944724217322.00048446956779737298a&ll=-6.255322,107.024302&spn=0.012542,0.027595&z=15&iwloc=00048446957a05f9acb24

http://members.webs.com/?referer=freebar&cm_mmc=Freewebs-_-Free%20Website-_-Freebar-_-stiemuliapratama

= Photo Dosen STIE Mulia Pratama =
http://picasaweb.google.com/stiemp/DosenSTIEMuliaPratama
--

Senin, 10 Mei 2010

Proposal Nikah: KADO BUAT YANG MAU DAN SIAP MENIKAH.. BARAKALLAHU

Latar Belakang

Ibunda dan Ayahanda yang sangat saya hormati, saya cintai dan sayangi, semoga Allah selalu memberkahi langkah-langkah kita dan tidak putus-putus memberikan nikmatNya kepada kita. Amin

Ibunda dan Ayahanda yang sangat saya hormati..sebagai hamba Allah, saya telah diberi berbagai nikmat. Maha Benar Allah yang telah berfirman : "Kami akan perlihatkan tanda-tanda kebesaran kami di ufuk-ufuk dan dalam diri mereka, sehingga mereka dapat mengetahui dengan jelas bahwa Allah itu benar dan Maha Melihat segala sesuatu".

Nikmat tersebut diantaranya ialah fitrah kebutuhan biologis, saling membutuhkan terhadap lawan jenis.. yaitu: Menikah ! Fitrah pemberian Allah yang telah lekat pada kehidupan manusia, dan jika manusia melanggar fitrah pemberian Allah, hanyalah kehancuran yang didapatkannya..Na'udzubillah ! Dan Allah telah berfirman: "Janganlah kalian mendekati zina, karena zina adalah perbuatan yang buruk lagi kotor" (Qs. Al Israa' : 32).

Ibunda dan Ayahanda tercinta..melihat pergaulan anak muda dewasa itu sungguh amat memprihatinkan, mereka seolah tanpa sadar melakukan perbuatan-perbuatan maksiat kepada Allah. Seolah-olah, dikepala mereka yang ada hanya pikiran-pikiran yang mengarah kepada kebahagiaan semu dan sesaat. Belum lagi kalau ditanyakan kepada mereka tentang menikah. "Saya nggak sempat mikirin kawin, sibuk kerja, lagipula saya masih ngumpulin barang dulu," ataupun Kerja belum mapan , belum cukup siap untuk berumah tangga¡¨, begitu kata mereka, padahal kurang apa sih mereka. Mudah-mudahan saya bisa bertahan dan bersabar agar tak berbuat maksiat. Wallahu a'lam.

Ibunda dan Ayahanda tersayang..bercerita tentang pergaulan anak muda yang cenderung bebas pada umumnya, rasanya tidak cukup tinta ini untuk saya torehkan. Setiap saya menulis peristiwa anak muda di majalah Islam, pada saat yang sama terjadi pula peristiwa baru yang menuntut perhatian kita..Astaghfirullah.. Ibunda dan Ayahanda..inilah antara lain yang melatar belakangi saya ingin menyegerakan menikah.

Dasar Pemikiran

Dari Al Qur¡¦an dan Al Hadits :

1. "Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. JIKA MEREKA MISKIN ALLAH AKAN MENGKAYAKAN MEREKA DENGAN KARUNIANYA. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui." (QS. An Nuur (24) : 32).

2. "Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah." (QS. Adz Dzariyaat (51) : 49).

3. ¨Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui¡¨ (Qs. Yaa Siin (36) : 36).

4. Bagi kalian Allah menciptakan pasangan-pasangan (istri-istri) dari jenis kalian sendiri, kemudian dari istri-istri kalian itu Dia ciptakan bagi kalian anak cucu keturunan, dan kepada kalian Dia berikan rezeki yang baik-baik (Qs. An Nahl (16) : 72).

5. Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Qs. Ar. Ruum (30) : 21).

6. Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi pelindung (penolong) bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah ; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Qs. At Taubah (9) : 71).

7. Wahai manusia, bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu yang telah menjadikan kamu satu diri, lalu Ia jadikan daripadanya jodohnya, kemudian Dia kembangbiakkan menjadi laki-laki dan perempuan yang banyak sekali. (Qs. An Nisaa (4) : 1).

8. Wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik. Lelaki yang baik untuk wanita yang baik pula (begitu pula sebaliknya). Bagi mereka ampunan dan reski yang melimpah (yaitu : Surga) (Qs. An Nuur (24) : 26).

9. ..Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.. (Qs. An Nisaa' (4) : 3).

10. Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukminah apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sesungguhnya dia telah berbuat kesesatan yang nyata. (Qs. Al Ahzaab (33) : 36).

11. Anjuran-anjuran Rasulullah untuk Menikah : Rasulullah SAW bersabda: "Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku !"(HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.).

12. Empat macam diantara sunnah-sunnah para Rasul yaitu : berkasih sayang, memakai wewangian, bersiwak dan menikah (HR. Tirmidzi).

13. Dari Aisyah, "Nikahilah olehmu kaum wanita itu, maka sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta (rezeki) bagi kamu¡¨ (HR. Hakim dan Abu Dawud). 14. Jika ada manusia belum hidup bersama pasangannya, berarti hidupnya akan timpang dan tidak berjalan sesuai dengan ketetapan Allah SWT dan orang yang menikah berarti melengkapi agamanya, sabda Rasulullah SAW: "Barangsiapa diberi Allah seorang istri yang sholihah, sesungguhnya telah ditolong separoh agamanya. Dan hendaklah bertaqwa kepada Allah separoh lainnya." (HR. Baihaqi).

14. Dari Amr Ibnu As, Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya ialah wanita shalihat.(HR. Muslim, Ibnu Majah dan An Nasai).

15. "Tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim) : a. Orang yang berjihad / berperang di jalan Allah. b. Budak yang menebus dirinya dari tuannya. c. Pemuda / i yang menikah karena mau menjauhkan dirinya dari yang haram."

16. "Wahai generasi muda ! Bila diantaramu sudah mampu menikah hendaklah ia nikah, karena mata akan lebih terjaga, kemaluan akan lebih terpelihara." (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud).

17. Kawinlah dengan wanita yang mencintaimu dan yang mampu beranak. Sesungguhnya aku akan membanggakan kamu sebagai umat yang terbanyak (HR. Abu Dawud).

18. Saling menikahlah kamu, saling membuat keturunanlah kamu, dan perbanyaklah (keturunan). Sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya jumlahmu di tengah umat yang lain (HR. Abdurrazak dan Baihaqi).

19. Shalat 2 rakaat yang diamalkan orang yang sudah berkeluarga lebih baik, daripada 70 rakaat yang diamalkan oleh jejaka (atau perawan) (HR. Ibnu Ady dalam kitab Al Kamil dari Abu Hurairah).

20. Rasulullah SAW. bersabda : "Seburuk-buruk kalian, adalah yang tidak menikah, dan sehina-hina mayat kalian, adalah yang tidak menikah" (HR. Bukhari).

21. Diantara kamu semua yang paling buruk adalah yang hidup membujang, dan kematian kamu semua yang paling hina adalah kematian orang yang memilih hidup membujang (HR. Abu Ya¡¦la dan Thabrani).

22. Dari Anas, Rasulullah SAW. pernah bersabda : Barang siapa mau bertemu dengan Allah dalam keadaan bersih lagi suci, maka kawinkanlah dengan perempuan terhormat. (HR. Ibnu Majah,dhaif).

23. Rasulullah SAW bersabda : Kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian diantaramu. Sesungguhnya, Allah akan memperbaiki akhlak, meluaskan rezeki, dan menambah keluhuran mereka (Al Hadits).

Tujuan Pernikahan

1. Melaksanakan perintah Allah dan Sunnah Rasul.

2. Melanjutkan generasi muslim sebagai pengemban risalah Islam.

3. Mewujudkan keluarga Muslim menuju masyarakat Muslim.

4. Mendapatkan cinta dan kasih sayang.

5. Ketenangan Jiwa dengan memelihara kehormatan diri (menghindarkan diri dari perbuatan maksiat / perilaku hina lainnya).

6. Agar kaya (sebaik-baik kekayaan adalah isteri yang shalihat).

7. Meluaskan kekerabatan (menyambung tali silaturahmi / menguatkan ikatan kekeluargaan)

Kesiapan Pribadi

1. Kondisi Qalb yang sudah mantap dan makin bertambah yakin setelah istikharah. Rasulullah SAW. bersabda : ¡§Man Jadda Wa Jadda¡¨ (Siapa yang bersungguh-sungguh pasti ia akan berhasil melewati rintangan itu).

2. Termasuk wajib nikah (sulit untuk shaum).

3. Termasuk tathhir (mensucikan diri).

4. Secara materi, Insya Allah siap. ¡§Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya¡¨ (Qs. At Thalaq (65) : 7)

Akibat Menunda atau Mempersulit Pernikahan

§ Kerusakan dan kehancuran moral akibat pacaran dan free sex.

§ Tertunda lahirnya generasi penerus risalah.

§ Tidak tenangnya Ruhani dan perasaan, karena Allah baru memberi ketenangan dan kasih sayang bagi orang yang menikah.

§ Menanggung dosa di akhirat kelak, karena tidak dikerjakannya kewajiban menikah saat syarat yang Allah dan RasulNya tetapkan terpenuhi.

§ Apalagi sampai bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Rasulullah SAW. bersabda: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia bersunyi sepi berduaan dengan wanita yang tidak didampingi mahramnya, karena yang menjadi pihak ketiganya adalah syaitan." (HR. Ahmad) dan "Sungguh kepala salah seorang diantara kamu ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik, daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya" (HR. Thabrani dan Baihaqi).. Astaghfirullahaladzim.. Na'udzubillahi min dzalik

Namun, umumnya yang terjadi di masyarakat di seputar pernikahan adalah sebagai berikut ini :

· Status yang mulia bukan lagi yang taqwa, melainkan gelar yang disandang: Ir, DR, SE, SH, ST, dsb.

· Pesta pernikahan yang wah / mahar yang tinggi, sebab merupakan kebanggaan tersendiri, bukan di selenggarakan penuh ketawadhu'an sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. (Pernikahan hendaklah dilandasi semata-mata hanya mencari ridha Allah dan RasulNya. Bukan di campuri dengan harapan ridha dari manusia (sanjungan, tidak enak kata orang). Saya yakin sekali.. bila Allah ridha pada apa yang kita kerjakan, maka kita akan selamat di dunia dan di akhirat kelak.)

· Pernikahan dianggap penghalang untuk menyenangkan orang tua.

· Masyarakat menganggap pernikahan akan merepotkan Studi, padahal justru dengan menikah penglihatan lebih terjaga dari hal-hal yang haram, dan semakin semangat menyelesaikan kuliah.

Memperbaiki Niat :

Innamal a'malu binniyat....... Niat adalah kebangkitan jiwa dan kecenderungan pada apa-apa yang muncul padanya berupa tujuan yang dituntut yang penting baginya, baik secara segera maupun ditangguhkan.

Niat Ketika Memilih Pendamping

Rasulullah bersabda "Barangsiapa yang menikahkan (putrinya) karena silau akan kekayaan lelaki meskipun buruk agama dan akhlaknya, maka tidak akan pernah pernikahan itu dibarakahi-Nya, Siapa yang menikahi seorang wanita karena kedudukannya, Allah akan menambahkan kehinaan kepadanya, Siapa yang menikahinya karena kekayaan, Allah hanya akan memberinya kemiskinan, Siapa yang menikahi wanita karena bagus nasabnya, Allah akan menambahkan kerendahan padanya, Namun siapa yang menikah hanya karena ingin menjaga pandangan dan nafsunya atau karena ingin mempererat kasih sayang, Allah senantiasa memberi barakah dan menambah kebarakahan itu padanya."(HR. Thabrani).

"Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, mungkin saja kecantikan itu membuatmu hina. Jangan kamu menikahi wanita karena harta / tahtanya mungkin saja harta / tahtanya membuatmu melampaui batas. Akan tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab, seorang budak wanita yang shaleh, meskipun buruk wajahnya adalah lebih utama". (HR. Ibnu Majah).

Nabi SAW. bersabda : Janganlah kalian menikahi kerabat dekat, sebab (akibatnya) dapat melahirkan anak yang lemah (baik akal dan fisiknya) (Al Hadits).

Dari Jabir r.a., Sesungguhnya Nabi SAW. telah bersabda, ¡§Sesungguhnya perempuan itu dinikahi orang karena agamanya, kedudukan, hartanya, dan kecantikannya ; maka pilihlah yang beragama." (HR. Muslim dan Tirmidzi).

Niat dalam Proses Pernikahan

Masalah niat tak berhenti sampai memilih pendamping. Niat masih terus menyertai berbagai urusan yang berkenaan dengan terjadinya pernikahan. Mulai dari memberi mahar, menebar undangan walimah, menyelenggarakan walimah. Walimah lebih dari dua hari lebih dekat pada mudharat, sedang walimah hari ketiga termasuk riya'. "Berikanlah mahar (mas kawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan."(Qs. An Nisaa (4) : 4).

Rasulullah SAW bersabda : "Wanita yang paling agung barakahnya, adalah yang paling ringan maharnya" (HR. Ahmad, Al Hakim, Al Baihaqi dengan sanad yang shahih). Dari Aisyah, bahwasanya Rasulullah SAW. telah bersabda, "Sesungguhnya berkah nikah yang besar ialah yang sederhana belanjanya (maharnya)" (HR. Ahmad). Nabi SAW pernah berjanji : "Jangan mempermahal nilai mahar. Sesungguhnya kalau lelaki itu mulia di dunia dan takwa di sisi Allah, maka Rasulullah sendiri yang akan menjadi wali pernikahannya." (HR. Ashhabus Sunan). Dari Anas, dia berkata : " Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar berupa keIslamannya" (Ditakhrij dari An Nasa'i)..Subhanallah..

Proses pernikahan mempengaruhi niat. Proses pernikahan yang sederhana dan mudah insya Allah akan mendekatkan kepada bersihnya niat, memudahkan proses pernikahan bisa menjernihkan niat. Sedangkan mempersulit proses pernikahan akan mengkotori niat. "Adakanlah perayaan sekalipun hanya memotong seekor kambing." (HR. Bukhari dan Muslim)

Pernikahan haruslah memenuhi kriteria Lillah, Billah, dan Ilallah. Yang dimaksud Lillah, ialah niat nikah itu harus karena Allah. Proses dan caranya harus Billah, sesuai dengan ketentuan dari Allah.. Termasuk didalamnya dalam pemilihan calon, dan proses menuju jenjang pernikahan (bersih dari pacaran / nafsu atau tidak). Terakhir Ilallah, tujuannya dalam rangka menggapai keridhoan Allah.

Sehingga dalam penyelenggaraan nikah tidak bermaksiat pada Allah ; misalnya : adanya pemisahan antara tamu lelaki dan wanita, tidak berlebih-lebihan, tidak makan sambil berdiri (adab makanan dimasyarakat biasanya standing party-ini yang harus di hindari, padahal tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang demikian), Pengantin tidak disandingkan, adab mendo'akan pengantin dengan do'a: Barokallahu laka wa baroka 'alaikum wa jama'a baynakuma fii khoir.. (Semoga Allah membarakahi kalian dan melimpahkan barakah kepada kalian), tidak bersalaman dengan lawan jenis, Tidak berhias secara berlebihan ("Dan janganlah bertabarruj (berhias) seperti tabarrujnya jahiliyah yang pertama" - Qs. Al Ahzab (33),

Meraih Pernikahan Ruhani

Jika seseorang sudah dipenuhi dengan kecintaan dan kerinduan pada Allah, maka ia akan berusaha mencari seseorang yang sama dengannya. Secara psikologis, seseorang akan merasa tenang dan tentram jika berdampingan dengan orang yang sama dengannya, baik dalam perasaan, pandangan hidup dan lain sebagainya. Karena itu, berbahagialah seseorang yang dapat merasakan cinta Allah dari pasangan hidupnya, yakni orang yang dalam hatinya Allah hadir secara penuh. Mereka saling mencintai bukan atas nama diri mereka, melainkan atas nama Allah dan untuk Allah.

Betapa indahnya pertemuan dua insan yang saling mencintai dan merindukan Allah. Pernikahan mereka bukanlah semata-mata pertemuan dua insan yang berlainan jenis, melainkan pertemuan dua ruhani yang sedang meniti perjalanan menuju Allah, kekasih yang mereka cintai. Itulah yang dimaksud dengan pernikahan ruhani.

KALO KITA BERKUALITAS DI SISI ALLAH, PASTI YANG AKAN DATANG JUGA SEORANG (JODOH UNTUK KITA) YANG BERKUALITAS PULA (Al Izzah 18 / Th. 2)

Penutup

"Hai, orang-orang beriman !! Janganlah kamu mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah kepada kamu dan jangan kamu melampaui batas, karena Allah tidak suka kepada orang-orang yang melampaui batas." (Qs. Al Maidaah (5) : 87).

“Karena sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan. Dan sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. (Qs. Alam Nasyrah (94) : 5- 6 ).

Ibunda dan Ayahanda yang sangat saya hormati, saya sayangi dan saya cintai atas nama Allah.. demikanlah proposal ini (secara fitrah) saya tuliskan. Saya sangat berharap Ibunda dan Ayahanda.. memahami keinginan saya. Atas restu dan doa dari Ibunda serta Ayahanda..saya ucapkan "Jazakumullah Khairan katsiira". "Ya Allah, jadikanlah aku ridho terhadap apa-apa yang Engkau tetapkan dan jadikan barokah apa-apa yang telah Engkau takdirkan, sehingga tidak ingin aku menyegerakan apa-apa yang engkau tunda dan menunda apa-apa yang Engkau segerakan.. YA ALLAH BERILAH PAHALA DALAM MUSIBAHKU KALI INI DAN GANTIKAN UNTUKKU YANG LEBIH BAIK DARINYA.. Amiin"

====================================
Dedicated to:

My inspiration .... yang pernah singgah dan menghuni "hati" ...Astaghfirullah !! Saat langkah ada didunia maya, tak menapak di bumi-Nya..Lalu, kucoba atur gelombang asa.. Robbi kudengar panggilanMu tuk meniti jalan RidhoMu…. Kuharap ada penolong dari hambaMu meneguhkan tapak kakiku di jalan-Mu dan menemani panjangnya jalan dakwah yang harus aku titi.. " Saat Cinta dan Rindu tuk gapai Syurga dan Syahid di jalanNya makin membuncah.."