Tampilkan postingan dengan label hikmah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hikmah. Tampilkan semua postingan

Jumat, 22 Mei 2020

Jangan Terserah, Jangan Menyerah!

MEMBACA kisah Nabi Ayub di masa pandemi Covid-19 ini terasa menyejukkan.

Kisah itu membuat hati tenang, dan bisa mengambil pelajaran bagaimana menghadapi penyakit yang membuat seluruh penduduk bumi ini kalang kabut.

Ayub adalah potret manusia yang memiliki kesabaran tiada batas ketika mendapat ujian hidup. Ia tak berkeluh kesah, tidak sumpah serapah, apalagi melakukan pelanggaran.

Itulah Ayub, yang menurut sejarawan Ibnu Ishaq (704-768), putra Mush putra Razah putra Aish putra Nabi Ishaq putra Nabi Ibrahim.

Sebelum diberi ujian, kehidupan Ayub sangat baik. Keluarganya bahagia. Anak-anaknya banyak. Secara ekonomi, sungguh tidak ada masalah.

Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah, ia adalah orang kaya asal Hauran. Letak Hauran di Suriah selatan hingga memasuki batas Yordania dan Dataran Tinggi Golan di bagian baratnya.

Harta Ayub yang berlimpah itu tertulis di Alkitab, “…Ia mempunyai banyak budak-budak, 7.000 ekor domba, 3.000 ekor unta, 1.000 ekor sapi, dan 500 ekor keledai.



Pendek kata, dia adalah orang yang paling kaya di antara penduduk daerah Timur” (Ayub 1: 3). Dalam kehidupan dunia, Ayub sudah mencapai semuanya. Dan, Ayub adalah seorang nabi yang saleh dan selalu bersyukur.

Namun itulah kehidupan, terkadang batasnya begitu tipis, antara kaya dan miskin, antara sehat dan sakit. Saat Allah memberi ujian, semua harta Ayub lenyap.

Ternak-ternak mati atau hilang. Semua anak-anaknya meninggal.

Bahkan sekujur tubuhnya digerogoti penyakit kulit. Ayub terkulai, tubuhnya lemah.

Hanya hati dan lidahnya yang tidak sakit. Semua orang menjauhinya, merasa jijik.

Sang istri, Rahmah binti Afraim bin Yusuf bin Yakub bin Ishaq bin Ibrahim – di mana silsilah mereka bertemu – begitu telaten merawatnya.

Rahmah bekerja sebagai buruh untuk bertahan hidup. Bahkan saat tiada yang mau memakai tenaganya karena takut tertular, Rahmah menjual potongan rambut untuk biaya makan.

Dengan penderitaan tak terkira itu, Ayub tak berputus asa. Sekitar 18 tahun berpenyakit menjijikkan, Ayub menjalaninya penuh kesabaran.

Ia tetap beribadah dan berdoa. Hingga Allah mengabulkan doa Ayub, “(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.” (QS Al-Anbiya: 83).

Semua penyakitnya lenyap. Ayub dikaruniahi harta lagi bahkan lebih berlimpah.

Ayub juga dianugerahi anak-anak yang banyak pula. Itulah buah sikap manusia yang sabar, tidak putus asa, tidak mudah menyerah.

Jadi, kalau dalam beberapa hari ini viral tagar #IndonesiaTerserah karena kecewa penanganan pandemi Covid-19, kita percaya bukanlah ekspresi sikap fatalis.

Tetapi memang pemerintah dan juga masyarakat harus sama-sama komitmen dan konsisten agar dapat mengatasi bencana ini dengan baik.

Bagaimana pun juga jangan berputus asa dan membiarkan terserah saja. Jangan terserah, jangan menyerah. Karena, tiada manusia yang lebih menderita dibanding Nabi Ayub.

___

- Oleh: Dr M Subhan SDDirektur PolEtik Strategic.


Minggu, 10 Desember 2017

Baik dan Buruk

Hikmah Hati

"Wahai Syaikh, manakah yang lebih baik, seorang muslim yang banyak ibadahnya tetapi akhlaqnya buruk ataukah seorang yang tak beribadah tapi amat baik perangainya pada sesama?",
tanya seorang pemuda.

"Subhaanallah, keduanya baik",
ujar sang Syaikh sambil tersenyum.

"Mengapa bisa begitu?",
desak si Pemuda.

"Karena orang yang tekun beribadah itu boleh jadi kelak akan dibimbing Allah untuk berakhlaq mulia bersebab ibadahnya. Dan karena orang yang baik perilakunya itu boleh jadi kelak akan dibimbing Allah untuk semakin taat kepadaNya."

"Jadi siapa yang lebih buruk?",
desak si Pemuda penasaran.

Air mata mengalir di pipi sang Syaikh.

"Kita Anakku", ujar Beliau.

"Kitalah yang layak disebut buruk sebab kita gemar sekali menghabiskan waktu untuk menilai orang lain dan melupakan diri kita sendiri." Beliau terisak-isak.
"Padahal kita akan dihadapkan pada Allah dan ditanyai tentang diri kita, bukan tentang orang lain."

Selasa, 28 November 2017

Andai Lelaki Tahu

Andai Lelaki Tahu 
Apabila seorang perempuan jatuh cinta,
lelaki itu tidak mesti punya segalanya tetapi lelaki itu adalah segalanya di hatinya

Andai Lelaki Tahu 
Apabila seorang perempuan itu mengalirkan air mata,
itu bukan bermakna dia lemah, tetapi dia sedang mencari kekuatan untuk terus tabah mencintai lelaki itu

Andai Lelaki Tahu 
Apabila perempuan berkata dia mau kamu berubah,
itu bukan bermakna dia tidak mau menerima kamu seadanya, 
tetapi dia mau menjadikan anda lebih baik, bukan untuk dirinya,
tetapi untuk masa depan anda

Andai Lelaki Tahu 
Apabila perempuan cemburu dan tidak percayakan kamu,
bukan bermakna dia tidak sayang ...
tetapi dia terlalu sayang kamu dan masih mengangap kamu anak kecil yang masih memerlukan sepenuh perhatian.
Terkadang dia terlalu risau sekiranya terlalu percaya,
kamu akan mengkhianati kepercayaan yang diberi.
Naluri keibuannya sangat kuat.
Dia hanya mau yang terbaik untuk kamu

Andai Lelaki Tahu 
Apabila perempuan merajuk,
jangan kata dia lebay.
Dia bukannya mau dibujuk dengan uang atau hadiah,
tetapi cukup dengan perhatian yang bisa membuat perempuan merasa dihargai

Andai Lelaki Tahu 
Apabila perempuan jarang mengatakan ‘i love u’,
itu tidak bermaksud dia tidak mencintai kamu..
tetapi dia mau lelaki itu merasakan sendiri cintanya,
bukan hanya hadir dari kata-kata tetapi juga melalui bahasa tubuhnya. .

Andai Lelaki Tahu 
Apabila perempuan bilang dia rindu sama kamu,
dia benar-benar merindukanmu .

Andai Lelaki Tahu 
Apabila perempuan bilang lelaki lain itu lebih baik dari kamu,
jangan percaya kata-katanya karena dia hanya mau menguji kamu.
Dia mau melihat sejauh mana kamu sanggup menjadi yang terbaik di matanya. .
Walaupun sebenarnya memang kamulah yang terbaik di hatinya.
Selagi dia denganmu, percayalah,
walaupun perempuan menganggap masih banyak lagi yang lebih baik di matanya,
tetapi di hatinya, kamu tetap yang terbaik.

"Sampaikanlah kebaikan sebanyak banyaknya" 
Semoga bermanfaat @mahabbah.rinduu

Kamis, 24 Agustus 2017

Cerita Rasulullah tentang Tiga Pria Terjebak dalam Gua

-
Sebagaimana tercatat dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah pernah berkisah tentang tiga orang pria pada masa pra-Islam yang terjebak dalam sebuah gua. Cerita dimulai ketika hujan turun dan mereka berteduh dalam gua di suatu gunung. “Bleg!” Tiba-tiba saja sebongkah batu besar jatuh menutup mulut gua dan mengurung ketiga laki-laki tersebut. Mereka tak cukup tenaga untuk menggeser batu raksasa itu. Yang paling bisa mereka lakukan hanyalah berdoa. “Coba ingat-ingat amal baik kalian yang betul-betul tulus karena Allah, lalu berdoalah lewat perantara amal tersebut. Semoga Allah memberi jalan keluar,” kata salah seorang dari mereka. Sesaat kemudian temannya mengadu kepada Allah dan mulai menyebutkan amal perbuatan baiknya. “Ya Allah ya Tuhanku, aku mempunyai dua orang tua yang sudah lanjut usia, juga seorang istri dan beberapa orang anak yang masih kecil. Aku menghidupi mereka dengan menggembalakan ternak. Apabila pulang dari menggembala, aku pun segera memerah susu dan aku dahulukan untuk kedua orang tuaku. Lalu aku berikan air susu tersebut kepada kedua orang tuaku sebelum aku berikan kepada anak-anakku. Pada suatu ketika, tempat penggembalaanku jauh, hingga aku pun baru pulang pada sore hari. Kemudian aku dapati kedua orang tuaku sedang tertidur pulas. Lalu, seperti biasa, aku segera memerah susu dan setelah itu aku membawanya ke kamar kedua orang tuaku. Aku berdiri di dekat keduanya serta tidak membangunkan mereka dari tidur. Akan tetapi, aku juga tidak ingin memberikan air susu tersebut kepada anak-anakku sebelum diminum oleh kedua orang tuaku, meskipun mereka, anak-anakku, telah berkerumun di telapak kakiku untuk meminta minum karena rasa lapar yang sangat. Keadaan tersebut aku dan anak-anakku jalankan dengan sepenuh hati hingga terbit fajar. Ya Allah, jika Engkau tahu bahwasanya aku melakukan perbuatan tersebut hanya untuk mengharap ridla-Mu, maka bukakanlah suatu celah untuk kami hingga kami dapat melihat langit!” Doa tersebut terkabulkan. Allah subhanahu wa Ta'ala membuka celah lubang gua tersebut. Namun, satu pun dari mereka bertiga belum ada yang bisa keluar dari celah tersebut. Salah seorang dari mereka berdiri sambil berkata, “Ya Allah ya Tuhanku, kepada putri pamanku aku pernah jatuh cinta layaknya seorang pria yang begitu menggebu-gebu menyukai wanita. Suatu ketika aku pernah mengajaknya untuk berbuat mesum, tetapi ia menolak hingga aku dapat memberinya uang seratus dinar. Setelah bersusah payah mengumpulkan uang seratus dinar, akhirnya aku pun mampu memberikan uang tersebut kepadanya. Ketika aku berada di antara kedua pahanya (telah siap untuk menggaulinya), tiba-tiba ia berkata; 'Hai hamba Allah, takutlah kepada Allah dan janganlah kamu membuka cincin (menggauliku) kecuali setelah menjadi hakmu.' Lalu aku bangkit dan meninggalkannya. Ya Allah ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau pun tahu bahwa aku melakukan hal itu hanya untuk mengharapkan ridhla-Mu. Oleh karena itu, bukakanlah suatu celah lubang untuk kami!” Allah pun membukakan sedikit celah lagi untuk mereka bertiga. Tapi lagi-lagi mereka masih belum bisa keluar dari gua. Giliran seorang teman lagi yang berdiri lalu memanjatkan doa: “Ya Allah ya Tuhanku, dulu aku pernah menyuruh seseorang untuk mengerjakan sawahku dengan cara bagi hasil. Ketika ia telah menyelesaikan pekerjaannya, ia pun berkata, 'Berikanlah hakku!' Namun aku tidak dapat memberikan kepadanya haknya tersebut hingga ia merasa sangat jengkel. Setelah itu, aku pun menanami sawahku sendiri hingga hasilnya dapat aku kumpulkan untuk membeli beberapa ekor sapi dan menggaji beberapa penggembalanya. Selang berapa lama kemudian, orang yang haknya dahulu tidak aku berikan datang kepadaku dan berkata; 'Takutlah kamu kepada Allah dan janganlah berbuat zalim terhadap hak orang lain!' Lalu aku berkata kepada orang tersebut, 'Pergilah ke sapi-sapi dan para penggembalanya itu dan ambillah semuanya untukmu!' Orang tersebut menjawab, 'Takutlah kepada Allah dan jangan mengejekku!' Kemudian aku katakan lagi kepadanya, 'Sungguh aku tidak bermaksud mengejekmu. Oleh karena itu, ambillah semua sapi itu beserta para pengggembalanya untukmu!’ Akhirnya orang tersebut memahaminya dan membawa pergi semua sapi itu. Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah mengetahui bahwa apa yang telah aku lakukan dahulu adalah hanya untuk mencari ridla-Mu. Oleh karena itu, bukalah bagian pintu gua yang belum terbuka!' Akhirnya Allah pun membukakan sisanya hingga mereka dapat keluar dari dalam gua yang terhalang batu besar tersebut. Hadits tersebut mengungkap pesan bahwa doa yang disertai tawasul melalui amal saleh memiliki faedah yang nyata. Memprioritaskan berbakti kepada kedua orang tua dibanding yang lain, keberanian untuk keluar dari godaan berat berbuat zina, dan kewajiban memenuhi hak buruh, sebagaimana dipaparkan dalam kisah tersebut adalah contoh dari sekian banyak kebajikan lain yang mampu menjadi “solusi” tatkala kita dalam situasi terdesak. Hanya saja, amal-amal baik apa pun tentu tak berarti apa-apa kecuali tujuan pokoknya hanya untuk mencari ridha Allah. Wallâhu a‘lam. (Mahbib) sumber: www.nu.or.id

Jumat, 31 Maret 2017

Kisah Filsuf dan Nahkoda dari Jalaludin Rumi

Ali adalah seorang filsuf yang beranggapan tahu segalanya. Ia memang orang yang mempunyai pengetahuan luas tentang filsafat, ilmu pengetahuan, sains, dan seni. Setiap waktu, Ali selalu menunjukkan kepandaiannya itu.
Sahabat Ali, Sam, merasa risih dengan kesombongan Ali. Namun, setiap beradu argumentasi, mulut Sam selalu terkunci, tak bisa mematahkan argumentasi Ali.
Suatu kali, Sam mengajak Ali untuk berlayar. Maksud Sam adalah agar Ali bisa melihat cara hidup lain dan beragam kesulitan yang belum pernah ia temui. Ali pun menerima ajakan itu.
Selama di laut, Ali berceloteh tentang filsafat, sains, dan seni. Kepada nahkoda kapal dia berseloroh: “apakah engkau tahu filsafat? ”
Nahkoda kapal menjawab :”tidak ”
Ali kembali bertanya :”apakah engkau tahu tentang atom, Proton, atau neutron? ”
Nahkoda kapal menjawab :”tidak ”
Seolah ingin menunjukkan kepandaiannya, Ali kembali bertanya :”apakah engkau tahu teori evolusi, Marxisme atau materialisme? ”
Dengan nada agak kesal, nahkoda kapal kembali menjawab :”tidak ”
Ali pun berkomentar :”sungguh sayang, umurmu habis tanpa mempunyai pengetahuan tentang hal ini ”
Sang nahkoda diam dan fokus pada pekerjaannnya. Ali pun berceloteh tentang pemerintahan yang baik, tentang politik, tentang hukum-hukum fisika dan seterusnya dan sebagainya.
Kapal pun terus melaju diiringi suara Ali yang sangat pandai itu. Ali adalah profesor yang tahu segala hal.
Malam berikutnya, dalam perjalanan pulang, nahkoda kapal merasa was was. Cuaca terlihat tidak bersahabat, awan gelap tampak mengepung di lautan. Benar saja, sesaat kemudian, hujan disertai badai menghantam perahu itu. Pun, perahu oleng kesana-kemari.
Air laut banyak yang masuk ke kapal. Nahkoda kapal berseru agar seluruh awak kapal segera meninggalkan kapal dan pindah ke perahu pelampung yang sudah diturunkan. Namun, perahu pelampung itu tidak mencukupi.
Sang nahkoda dan awak kapal pun bersiap turun ke laut untuk berenang. Sebelum turun, sang nahkoda teringat pada Ali dan ia memerintahkan anak buahnya untuk mencari Ali.
Ali tampak berjalan terhuyung-huyung, tangannya memegang cabin. Nahkoda kapal berteriak :”hai Ali, ayo cepat kita harus segera melompat sebelum kapal ini tenggelam..!! ”
Dengan nada cemas dan takut, Ali menjawab :”aku tidak bisa berenang..!! ”
Nahkoda kapal pun berkata :”sungguh sayang, umurmu terbuang sia-sia karena tidak tahu ilmu berenang “.
Ali pun, akhirnya, dipandu oleh dua awak kapal agar tetap mengambang di lautan. Akhirnya, seluruh penumpang dan awak kapal diselamatkan oleh kapal lain setelah badai reda.
Setelah kejadian itu, Ali bersahabat dengan nahkoda kapal. Dan, suatu hari, Ali memberi hadiah sebuah lukisan yang indah, berupa kapal yang dihantam ombak. Di bawah lukisan itu tertulis sebuah caption :
hanya benda-benda kosong yang terapung di permukaan air. Kosongkan dirimu dari sifat-sifat kemanusiaan dan engkau akan mengapung di lautan penciptaan “
*Disadur dari Masnawi Jalaluddin Rumi

Oleh  - islami.co