Jumat, 26 November 2010

Sejarah Grobogan - Kabupaten Grobogan

Pada jaman Kerajaan Mataram, Susuhunan Amangkurat IV mengangkat seorang abdi bernama Ng. Wongsodipo menjadi Bupati monconagari (taklukan raja) Grobogan dengan nama RT Martopuro pada 21 Jumadil Akhir 1650 Saka atau 4 Maret 1726 M, dengan wilayah kekuasaannya yaitu : Sela, Teras Karas, Wirosari, Santenan, Grobogan, dan beberapa daerah di Sukowati bagian utara Bengawan Sala (serat Babad Kartasura / Babad Pacina : 172 - 174).
Oleh karena pada saat itu Kartasura masih dalam keadaan kacau, maka pengawasan terhadap daerah Grobogan diserahkan kepada kemenakan sekaligus menantunya bernama yaitu RT Suryonagoro (Suwandi) dan RT Martopuro sendiri masih tetap di Kartasura.
Tugas RT Suryonagoro adalah menciptakan struktur pemerintahan kabupaten pangreh praja, seperti adanya bupati, patih, kaliwon, pamewu, mantri, dan seterusnya sampai jabatan bekel di desa - desa Ibu kota kabupaten pada saat itu di Grobogan, tetapi pada tahun 1864 ibukota kabupaten pindah ke Purwodadi.
Sampai dengan tahun 1903, yaitu sebelum dikeluarkannya Decentralisatie Besluit oleh Pemerintah Penjahan Belanda, Indonesia yang waktu itu namanya masih Nederland Indie (Hindia Belanda) dibagi dalam beberapa Gewesten yang bersifat administratif yang kemudian dibagi-bagi lagi dalam Regentschap. Regentschap Grobogan saat itu berada dalam lingkungan Semarang Gewest.
Setelah diberlakukannya Decentralisatie Besluit tahun 1905, regentschap diberi hak-hak otonomi dan untuk itu dibentuk Dewan Daerah. Regentschap Grobogan memperoleh otonomi penuh mulai tahun 1908.
Pada tahun 1928, berdasarkan Staatbad 1928 No. 117, Kabupaten Grobogan mendapat tambahan dua distrik dari Kabupaten Demak yaitu Distrik Manggar dengan ibukota di Godong dan Distrik Singenkidul dengan ibukota di Gubug.
Kemudian pada tahun 1933 memperoleh tambahan Asistenan Klambu dari Distrik Undaan Kudus.
Pada masa pendudukan Jepang, terjadi perubahan tata pemerintahan daerah, yaitu dengan Undang-undang No. 27 tahun 1942. Menurut UU ini seluruh Jawa kecuali daerah Vorstenlanden dibagi atas : Syuu (Karesidenen), Si (Kotapraja), Ken (Kabupaten), Gun (Distrik), Son (Onder Distrik), dan Ku (Kelurahan/Desa).
Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18, Indonesia dibagi atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Dalam penjelasan pasal 18 ini, Daerah Indonesia akan dibagi dalam Daerah Propinsi dan Daerah Propinsi dibagi lagi dalam daerah yang lebih kecil.
Tahun 1948, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 1 UU ini menyatakan bahwa Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, yaitu : Propinsi, Kabupaten, Desa (Kota Kecil).
Selanjutnya berdasarkan UU No. 13 Tahun 1950 dibentuklah Daerah-daerah Tingkat II di lingkungan Propinsi Jawa Tengah. Dengan demikian UU inilah yang mendasari pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Grobogan.
Dengan Perda Kabupaten Dati II Grobogan No. 11 Tahun 1991 ditetapkan bahwa Hari Jadi Kabupaten Grobogan adalah:
Hari Senin Kliwon, 21 Jumadil Akhir 1650 atau 4 Maret 1726 atau 1 Rajab 1138 H, yaitu pada saat diangkatnya RT.
Martopuro sebagai Bupati Monconagari di Grobogan. Sehingga RT. Martopuro inilah yang sampai sekarang dianggap sebagai Bupati Grobogan yang pertama.

Chandra Sangkala : kombuling cipto hangroso jati
Surya Sangkala : kridhaning hangga hambangun praja

Nama-Nama Bupati yang pernah menjabat di Kabupaten Grobogan
A. Pada waktu Ibukota Kabupaten di Kota Grobogan
1. Adipati Martopuro atau Adipati Puger : 1726
2. RT. Suryonagoro Suwandi atau RT. Yudonagoro
3. RT. Kartodirjo : 1761 – 1768, pindahan dari
4. RT. Yudonagoro : 1768 – 1775, kemudian
5. R. Ng. Sorokarti atau RT. Abinoro
6. RT. Yudokerti atau Abinarong II : 1787 – 1795
7. RM. T. Sutoyuda : 1795 - 1801
8. RT. Kartoyudo : 1801 - 1815
9. RT. Sosronagoro I : 1815 - 1840
10. RT. Sosronagoro II : 1840 - 1864

B. Setelah Ibukota Kabupaten di Kota Purwodadi
11. RT. Adipati Martonagoro : 1864 - 1875
12. RM. Adipati Ario Yudonagoro : 1875 - 1908
13. RM. Adipati Ario Haryokusumo : 1902 - 1908
14. Pangeran Ario Sunarto : 1908 - 1933, Pencipta Trilogi Pedesaan yaitu:
di desa-desa harus ada Sekolah Dasar, Balai Desa, dan Lumbung Desa.
15. R. Adipati Ario Sukarman Martohadinegoro : 1933 - 1944
16. R. Sugeng : 1944 - 1946
17. R. Kaseno : 1946 - 1948, Bupati merangkap Ketua KNI
18. M. Prawoto Sudibyo : 1948 - 1949
19. R. Subroto : 1949 - 1950
20. R. Sadono : 1950 - 1954
21. Haji Andi Patopoi : 1954 - 1957, Bupati Kepala Daerah
22. H. Abdul Hamid sebagai Pejabat Bupati dan Ruslan sebagai Kepala Daerah, memerintah 1957 - 1958
23. R. Upoyo Prawirodilogo : Bupati Kepala Daerah merangkap Ketua DPRDGR : 1958 - 1964
24. Supangat : Bupati Kepala Daerah merangkap Ketua DPRGR : 1964 - 1967
25. R. Marjaban, Pejabat Bupati Kepala Daerah : 1967 - 1970
26. R. Umar Khasan, Pejabat Bupati Kepala Daerah : 1970 - 1977
27. Kolonel Inf. H. Soegiri, Bupati Kepala Daerah : 11 Juli 1977 s.d 11 Maret 1986
28. Kolonel H. Mulyono US : Bupati Kepala Daerah : 11 Maret 1986 s.d 11 Maret 1996
29. Kolonel Inf. Toermudi Soewito, Bupati Kepala Daerah : 11 Maret 1996 s.d 11 Maret 2001
30. Agus Supriyanto SE, Bupati Grobogan : 11 Maret 2001 - 2006
31. Bambang Pudjiono, Bupati Grobogan : 2006 - sekarang.

sumber: www.grobogan.go.id

Kamis, 25 November 2010

Persoalan-Persoalan Akhlaq Masa Kini

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dialami oleh manusia sekarang ini, tidak sedikit dampak negatifnya terhadap sikap hidup dan perilakunya; baik ia sebagai manusia yang beragama, maupun sebagai makhluk individual dan sosial.
Dampak negatif yang paling berbahaya terhadap kehidupan manusia atas kemajuan yang dialaminya, ditandai dengan adanya kecenderungan menganggap bahwa satu-satunya yang dapat membahagiakan hidupnya adalah nilai materiil, sehingga manusia terlampau mengejar materi, tanpa menghiraukan nilai-nilai spiritual yang sebenarnya berfungsi untuk memelihara dan mengendalikan akhlaq manusia.
Manusia pasti kehilangan kendali dan salah arah bila nilai-nilai spiritual ditinggalkan, sehingga mudah terjerumus ke berbagai penyelewengan dan kerusakan akhlaq, misalnya melakukan perampasan hak-hak orang lain, penyelewengan seks dan pembunuhan. Nilai-nilai spiritual yang dimaksudkan dalam Islam adalah ajaran agama yang berwujud perintah, larangan dan anjuran; yang kesemuanya berfungsi untuk membina kepribadian manusia dalam kaitannya sebagai hamba Allah serta anggota masyarakat. Mengejar nilai-nilai materi saja, tidak bisa dijadikan sarana untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki. Bahkan hanya menimbulkan bencana yang hebat, karena orientasi hidup manusia semakin tidak mempedulikan kepentingan orang lain, asalkan materi yang dikejar-kejarnya dapat dikuasainya, akhirnya timbul persaingan hidup yang tidak sehat. Sementara manusia tidak memerlukan lagi agama untuk mengendalikan segala perbuatannya, karena dianggapnya tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan hidupnya. Persaingan hidup yang tidak sehat, menimbulkan sikap tamak (rakus), yang sebenarnya merupakan salah satu wujud ketegangan jiwa (stres), sehingga Imam Al-Ghazaly menyebutnya sebagai istilah min ‘alaamaati marodlilqolbi (sebagian gejala penyakit jiwa); yang penanggulangannya tidak lain, kecuali menanamkan pada diri kita sikap kesederhanaan dan perasaan kecukupan (al qonaa’ah). Dan besar kemungkinan, orang yang terlalu mengejar nilai materi, membuat dirinya kikir (al bukhlu) yang penanggulangannya tidak lain sikap pemurah (as-sakho’).
Imam Al-Ghazaly membagi tingkatan keburukan akhlaq menjadi empat macam; yaitu :
1. Keburukan akhlaq yang timbul karena ketidaksanggupan seseorang mengendalikan nafsunya, sehingga pelakunya disebut al-jaahil.
2. Perbuatan yang diketahui keburukannya, tetapi ia tidak bisa meninggalkannya karena nafsunya sudah menguasai dirinya, sehingga pelakunya disebut al-jaahiludl-dloollu.
3. Keburukan akhlaq yang dilakukan oleh seseorang, karena pengertian baik baginya sudah kabur, sehingga perbuatan buruklah yang dianggapnya baik. Maka pelakunya disebut al-jaahiludl-dloollulfaasiq.
4. Perbuatan buruk yang sangat berbahaya terhadap masyarakat pada umumnya, sedangkan tidak terdapat tanda-tanda kesadaran bagi pelakunya, kecuali hanya kekhawatiran akan menimbulkan pengorbanan yang lebih hebat lagi. Orang yang melakukannya disebut al-jaahiludl-dloollulfaasiqusy-syariir.
Menurut Al-Ghazaly, tingkatan keburukan akhlaq yang pertama, kedua dan ketiga masih bisa dididik menjadi baik, kedua dan ketiga masih bisa dididik menjadi baik; sedangkan tingkatan keempat, sama sekali tidak bisa dipulihkan kembali. Karena itu, agama Islam membolehkannya untuk memberikan hukuman mati bagi pelakunya, agar tidak meresahkan masyarakat umum. Sebab kalau dibiarkan hidup, besar kemungkinannya akan melakukan lagi hal-hal yang mengorbankan orang banyak. Disini hanya dikemukakan sebagian kecil keburukan akhlaq yang dilakukan dengan menggunakan peralatan modern untuk mencapai maksud-maksud jahatnya; antara lain penggunaan bahkan narkotika bagi remaja-remaja dan pembajakan di atas pesawat bagi orang dewasa.
Begitu canggihnya peralatan yang digunakan dalam melakukan kejahatan, membuat petugas keamanan tidak bisa menemukannya, akibatnya dapat menelan banyak pengorbanan. Maka ukuran kesejahteraan dan kebahagiaan hidup, tidak dapat dinilai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia, kecuali harus disertai dengan nilai-nilai spiritual (agama), yang di dalamnya terdapat nilai-nilai akhlaq mulia.
Agama Islam tidak melarang manusia memiliki kemajuan disegala bidang kehidupan, bahkan mewajibkannya, sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidupnya. Hanya yang dilarang dalam agama, bila kemajuan itu, digunakan untuk menghancurkan aqidah Islamiyah, dan mendatangkan bencana kehidupan makhluk di bumi ini. Kalau kita kembali memperhatikan ayat-ayat akhlaq yang bertebaran dalam Al-Qur’an beserta asbab nuzulnya, maka dapat diperoleh kesan bahwa betapa hancurnya tatanan hidup masyarakat sebelum datangnya Islam. Kehancuran manusia yang dihadapi oleh Islam sejak lahirnya, sama keadaannya dengan kehancuran akhlaq bangsa Romawi dan Persia, yang terkenal dengan ketinggian kebudayaannya. Lalu dapat lagi dijadikan tolok ukur bahwa ketinggian kebudayaan tidak memberi jaminan untuk melakukan perbuatan yang manusiawi, kecuali kalau manusia itu tetap melakukan petunjuk agamanya. Banyak sekali petunjuk dalam agama yang dapat dijadikan sarana untuk memperbaiki akhlaq manusia; antara lain anjuran untuk selalu bertaubat, bersabar, bersyukur, bertawakkal, mencintai orang lain, mengasihani serta menolongnya. Anjuran-anjuran itu, sering didapatkan dalam ayat-ayat akhlaq, sebagai nasehat bagi orang-orang yang sering melakukan perbuatan buruk. Itu terbukti bahwa akhlaq buruk dapat dididik menjadi baik, kecuali tingkatan akhlaq buruk yang keempat tadi. Karena itu, Imam Al-Ghazaly mengatakan: “ Seandainya akhlaq tidak bisa diubah, maka pasti tidak ada manfaatnya memberikan pesan-pesan, nasehat-nasehat dan didikan “ (Al-Ghazaly, Ihyaa’ ‘Ulumiddin, Juz III-hl. 54).
Secara normatif, pendidikan akhlaq sudah ada dalam Al-Qur’an dan Hadits, tinggal kita merumuskannya secara operasional, sehingga dapat diterapkan pada peserta didik; baik yang menyangkut perkembangan anak manusia, maupun tempat dilaksanakannya pendidikan itu. (•than mas) - dinukil dari: Drs. Mahjuddin ,”Kuliah Akhlaq-Tasawuf “, Kalam Mulia.