Minggu, 18 Juni 2017

Kesibukan Malaikat di Bulan Ramadhan al Mubarak

Sesungguhnya syurga itu harum dan dihias dari tahun ke tahun untuk menyambut bulan Ramadhan. Pada malam pertama Ramadhan, akan muncul angin dari bawah Arasy yang disebut hembusan angin ‘al-Mutsirah’, maka daun-daunan dari pokok-pokok di syurga bergoyang, bergesel dan daun-daun pintu bergerak, sehingga menimbulkan suatu rangkaian dengungan suara yang sangat indah dan merdu yang belum pernah didengar oleh makhluk apapun sebelumnya, sehingga hal itu menarik perhatian para bidadari yang bermata jeli. Mereka berdiri di tempat tinggi dan berkata, “Apakah ada orang-orang yang memohon kepada Allah, kemudian Allah akan mengahwinkannya dengan kami?” Tidak ada jawapan dan penjelasan apapun, maka para bidadari itu bertanya kepada malaikat penjaga syurga, “Wahai Malaikat Ridwan! Malam apakah ini?” Malaikat Ridwan berkata, “Wahai para bidadari yang cantik jelita, malam ini adalah malam pertama Bulan Ramadhan!” Para bidadari itu berdoa, “Ya Allah! Berikanlah kepada kami suami-suami dari hamba-Mu pada bulan ini!” Maka tidak ada seorang pun yang berpuasa di Bulan Ramadhan (dan diterima puasanya) kecuali Allah سبحانه وتعالى akan mengahwinkannya dengan para bidadari itu, kelak di dalam khemah-khemah di syurga. Kemudian terdengar seruan firman Allah سبحانه وتعالى, “Wahai Ridwan! Bukalah pintu-pintu syurga untuk umat Muhammad yang berpuasa pada bulan ini. Wahai Malik (Malaikat penjaga neraka)! Tutuplah pintu-pintu neraka bagi mereka yang berpuasa bulan ini. Wahai Jibril! Turunlah ke bumi, kemudian ikatlah syaitan-syaitan yang jahat dengan rantai-rantai dan singkirkan mereka ke dasar lautan yang dalam, sehingga mereka tidak boleh merosakkan (mengganggu) puasa umat Muhammad, kekasih-Ku!”  Para malaikat itu dengan segera melaksanakan perintah Allah سبحانه وتعالى tersebut. Itulah sebabnya di dalam Bulan Ramadhan itu kebanyakan umat Islam sangat mudah untuk berbuat amal kebaikan. Suatu hal yang sangat sukar untuk diamalkan pada bulan-bulan yang lain. Gangguan syaitan (dari kalangan jin) dan hawa panas neraka ditiadakan untuk sementara, hawa sejuk syurga yang penuh rahmat dan kasih sayang Allah سبحانه وتعالى melimpah ruah membangkitkan semangat untuk terus beribadah kepada-Nya. Musuh yang perlu dihadapi tinggal gangguan syaitan dalam bentuk manusia dan hawa nafsu, yang mereka itu juga telah dilemahkan dengan adanya kewajipan puasa.  Pada riwayat lain disebutkan, pada malam pertama Bulan Ramadhan itu Allah سبحانه وتعالى berfirman, “Sesiapa yang mencintai-Ku maka Daku akan mencintainya, sesiapa yang mencari-Ku maka Daku akan mencarinya, dan sesiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka Daku akan mengampuninya berkat kehormatan Bulan Ramadhan ini (dan puasa yang dijalankannya)!” Kemudian Allah سبحانه وتعالى memerintahkan malaikat ‘Kiramal Katibin’ (malaikat-malaikat pencatat amalan manusia) untuk mencatat amal kebaikan dari tiga kumpulan orang-orang tersebut dan menggandakannya, dan memerintahkan untuk membiarkan (tidak mencatat) amal keburukannya, bahkan Allah  سبحانه وتعالى  juga menghapuskan dosa-dosa mereka yang terdahulu. Pada setiap malam di Bulan Ramadhan itu, Allah سبحانه وتعالى akan menyeru tiga kali, “Sesiapa yang memohon, maka Daku akan memenuhi permohonannya. Sesiapa yang kembali kepada-Ku (Taa-Ibin, taubat) maka Daku akan menerimanya kembali (menerima taubatnya). Sesiapa yang memohon ampunan (maghfirah) atas dosa-dosanya, maka Daku akan mengampuninya …!” Pada setiap hari pada bulan Ramadhan, iaitu ketika berbuka puasa, Allah سبحانه وتعالى akan membebaskan sejuta roh dari neraka yang telah diwajibkan masuk neraka. Dan pada hari terakhir bulan Ramadhan, maka Allah سبحانه وتعالى akan membebaskan roh sebanyak yang telah Dia bebaskan dari awal hinggaakhir Ramadhan. Dan apabila tiba malam yang ditetapkan Allah سبحانه وتعالى sebagai Lailatul Qadr, Allah سبحانه وتعالى memerintahkan Jibrail dan rombongan besar malaikat untuk turun ke bumi. Jibril turun dengan membawa panji hijau yang kemudian diletakkan di puncak Kaabah. Ia mempunyai 100 sayap, dua di antaranya tidak pernah dipergunakan kecuali pada Lailatul Qadar, yang bentangan dua sayap itu meliputi timur dan barat. Kemudian Jibril memerintahkan para malaikat yang mengikutinya untuk mengunjungi umat Nabi Muhammad ﷺ. Mereka mengucapkan salam pada setiap orang yang sedang beribadah dengan duduk, berdiri dan berbaring, yang sedang solat dan berzikir, dan berbagai macam ibadah lainnya pada malam itu. Para malaikat akan berjabat tangan dengan umat Nabi Muhammad ﷺ dan mengaminkan doa-doa mereka hingga terbit fajar. Ketika fajar telah muncul di ufuk timur, Jibril menyeru para malaikat, “Wahai para malaikat, kembali, kembali!!” Para malaikat itu nampaknya enggan untuk beranjak dari kaum muslimin yang sedang beribadah kepada Allah سبحانه وتعالى. Ada kekaguman dan keasyikan berada di tengah-tengah umat Nabi Muhammad ﷺ, yang di antara pelbagai kelemahan dan keterbatasannya, berbagai dosa dan kelalaiannya, mereka tetap beribadah mendekatkan diri kepada Allah سبحانه وتعالى, tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah سبحانه وتعالى. Mendengar seruan Jibril untuk kembali, mereka berkata,“Wahai Jibril! Apa yang diperbuat Allah untuk memenuhi permintaan (keperluan hajat) orang-orang yang beriman dari umat Nabi Muhammad ini?” Jibril berkata, “Sesungguhnya Allah melihat kepada mereka dengan pandangan penuh kasih sayang, memaafkan dan mengampuni mereka, kecuali empat golongan manusia …!” Mereka berkata, “Siapakah empat golongan itu?” Jibril berkata, “Mereka adalah orang yang meminum arak (khamr, alkohol, dadah dan seumpamanya), orang yang derhaka kepada kedua ibu bapanya, orang yang memutuskan tali silaturahim dan kaum musyahin!” Para malaikat itu cukup puas dengan penjelasan Jibril dan mereka kembali naik ke langit, ke tempat dan cara ibadahnya masing-masing seperti semula. Ketika Rasulullah ﷺ menceritakan hal ini kepada para sahabat, salah seorang dari mereka berkata, “Wahai Rasulullah, siapakah kaum musyahin itu?” Rasulullah ﷺ bersabda, “Orang yang suka memutuskan persaudaraan, iaitu orang yang tidak mahu bercakap (kerana perasaan marah, dendam dan seumpamanya) kepada saudaranya lebih dari tiga hari!” Malam berakhirnya bulan Ramadhan, iaitu ketika berbuka puasa yang terakhir dan memasuki malam Hari Raya Aidil Fitri, Allah سبحانه وتعالى menamakannya dengan ‘Lailatul Jaa-izah’ (Malam Penerimaan Hadiah).  Lalu ketika tiba fajar menyingsing dan hari raya Fitri pada esok harinya, maka Allah سبحانه وتعالى mengutus para malaikat untuk turun dan menyebar ke setiap negeri yang di dalamnya ada orang-orang yang berpuasa. Mereka memenuhi setiap jalan dan menyeru dengan suara yang didengari oleh semua makhluk Allah سبحانه وتعالى kecuali jin dan manusia. Mereka berkata, “Wahai umat Muhammad! Keluarlah kamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, yang mengurniakan banyak hadiah yang penuh rahmat dan mengampuni dosa-dosa besarmu!” Ketika kaum muslimin keluar menuju tempat-tempat Solat Aidil Fitri dilaksanakan, Allah سبحانه وتعالى berfirman kepada para malaikat, “Wahai para malaikat-Ku, apakah balasan bagi pekerja jika ia telah menyelesaikan pekerjaannya?”  Mereka berkata, “Ya Allah! Balasannya adalah dibayar upah sepenuhnya!” Allah سبحانه وتعالى berfirman, “Wahai para malaikat! Sesungguhnya Daku jadikan kamu sebagai saksi bahawa sesungguhnya Daku telah memberikan keredhaan dan keampunan-Ku sebagai balasan kepada mereka kerana puasa mereka pada bulan Ramadhan, dan solat-solat malam mereka!” Lalu Allah سبحانه وتعالى berfirman lagi, “Wahai hamba-hamba-Ku. Mohonlah kepada-Ku, maka demi kemuliaan-Ku dan kebesaran-Ku, tidaklah kamu meminta sesuatu kepada-Ku di pertemuan ini untuk akhiratmu kecuali Daku akan memberimu. Dan tidak juga untuk keperluan duniamu kecuali Daku akan memandang permaslahanmu. Maka demi kemuliaan-Ku, sungguh akan Daku tutupi kesalahan-kesalahan kamu selama kamu takut kepada-Ku. Demi kemuliaan-Ku dan keagungan-Ku, Daku tidak akan menutup dan tidak akan Aku perlihatkan aib-aibmu di depan orang-orang yang melanggar batas. Bertebaranlah kamu dengan membawa ampunan. Sungguh kamu telah redha kepada-Ku, dan Daku pun redha kepada kamu. ” Para malaikat pun merasa gembira dan bersuka cita, kerana Allah Azza Wa Jalla telah mengurniakan kepada umat Nabi Muhammad ﷺ pada ketika mereka sedang berhari raya Fitri selepas Ramadhan. (Hadis Riwayat Ibnu Hibban dan Baihaqi) والله أعلم بالصواب Wallahu A’lam Bish Shawab

Rabu, 14 Juni 2017

Ketika Masa Aib Terbuka

Ketika masa aib terbuka Ketika waktu menenggelamkan rasa malu Saat zaman kehilangan iman Mana manusia… mana bukan ******** “Zaman edan” itu mungkin istilah yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Ronggowarsito, dalam Serat Kalatida, menggambarkan sebuah zaman ketika identitas nilai-nilai jungkir balik, zaman kalabendu, yakni zaman saat orang tidak lagi bisa memahami benar dan salah. Semua nilai bercampur aduk dalam labirin yang membuat orang mengalami kebutaan, buta mata hati, pikiran, nurani, dan mata “indrawi”-nya. Suatu zaman ketika masing-masing orang tak lagi merasa bersalah dengan kebohongan, tak peduli terhadap orang lain. Manusia hidup dalam zaman ini dengan keresahan, kegelisahan, dan ketidakpercayaan satu sama lain. “Kalabendu” (Sinom): Amenangi zaman edan / Ewuh aya ing pambudi / Amelu edan nora tahan / Yen tan melu anglakoni / Boya keduman melik / Kaliren wekasanipun // Dilalah kersa Allah / Sabegja-begjaning kang lali / Luwih begja, kang eling lan waspada. Terj. bebas: “Zaman Edan” : Menjalani zaman edan / sikap dan pendirian susah ditentukan / jika tak tahan, ikut edan / kalau tak ikut, tak kebagian / hasilnya kelaparan // Dilalah kehendak Allah semata / sebesar-besarnya keuntungan orang yang alpa / masih untung orang yang sadar dan waspada. [Serat Kalatida, bait/pada ke-7, Raden Ngabehi Ronggowarsito (1802 – 1873)] “Kalatida adalah zaman edan karena akal sehat diremehkan, sedangkan kalabendu adalah zaman hancur dan rusaknya kehidupan karena tata nilai dan nilai kebenaran dijungkirbalikkan secara merata.” Inikah yang dinamakan zaman kalabendu? Zaman serba tidak teratur, zaman yang tidak lagi memiliki arah, yang benar disalahkan dan yang salah malah diagung-agungkan. Serat Kalatidha atau Kalatidha saja adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa karangan Raden Ngabehi Rangga Warsita berbentuk tembang macapat. Karya sastra ini ditulis kurang lebih pada tahun 1860 Masehi. Kalatidha adalah salah satu karya sastra Jawa yang ternama. Bahkan sampai sekarang banyak orang Jawa terutama kalangan tua yang masih hafal paling tidak satu bait syair ini. Ronggowarsito dalam karyanya di atas mengisahkan bahwa martabat negara hancur berantakan. Aturan, hukum, dan undang-undangnya tidak diindahkan dan diinjak-injak. Contoh-contoh yang luhur tidak ada lagi. Orang-orang terpelajar terbawa arus dalam kepincangan zaman. Suasananya mencekam, sebab hidup penuh dengan kerepotan. Ibarat yang salah jadi benar, dan yang benar menjadi salah. Yang halal menjadi haram, dan yang haram memnjadi halal. Pada dasarnya kepincangan-kepincangan itu tidaklah bersumber dari pemerintahan, tetapi semuanya mengalir dari jiwa-jiwa masyarakat dan manusianya. Pemimpin pemerintahan termasuk orang yang baik. Patihnya juga cerdik. Semua anak buah hatinya baik. Pemuka-pemuka masyarakat juga baik. Tetapi semuanya itu tidak membawa kebaikan. Justru malah sebaliknya. Hal itu disebabkan oleh kutukan zaman. Bahkan keusahpayahan semakin menjadi-jadi. Lantaran perbedaan persepsi, pandangan, pikiran, serta tujuan manusiannya masing-masing. Semuanya saling membenarkan diri-sendiri. Walau sudah jelas dirinya bersalah. Saat itulah hukum menjadi barang dagangan yang tengah diobral murah. Pemerintah tak berdaya. Yang berharta jadi penguasa. Berhak menentukan jalan hidupnya. Tak peduli benar-salah dan halal-haramnya cara yang ditempuhnya. Yang penting tujuan tercapai, segalanya digilasnya. Melihat fenomena semacam itu, Ronggowarsito menangis sedih. Ia merasa malu dan terhina. Realitas yang ada penuh dengan fitnah dan intrik. Segalanya seolah-olah tampak menghibur dan menggembirakan. Di depan seseorang bersifat manis dan memuji-muji, tetapi jika seseorang itu tidak ada, maka ia justru balik menikamnya Berbagai macam gosip dan rumor datang tak menentu pada zaman itu. Di mana-mana selalu ada gosip, bahkan hampir diseluruh penjuru dipenuhi dengan gosip. Bukan gosip yang positif, melainkan hanya sekedar mengumbar aib. Orang-orang banyak yang berebut kedudukan. Setiap kepala ingin duduk memerintah. Oleh sebab itu, janji-janji berhamburan demi menggapai tujuan. Tapi pada akhirnya itu hanya sekedar bualan. Kata-kata yang telah diucapkan justru malah tidak diperhatikan sama sekali. Sibuk dengan perutnya sendiri. Sebenarnya, kalau benar-benar direnungkan, menjadi pemimpin itu tidak ada guna-faedahnya. Justru malah menumpuk kesalahan-kesalahan saja. Bahkan jika lupa diri, hasilnya tidak lain hanyalah kesusahpayahan yang berujung pada bencana. (ref) Ketika Masa Aib Terbuka Ketika iman hilang dalam pergaulan, hukum diperjualbelikan, hawa nafsu menguasai waktu sementara agama hanya gurauan belaka maka pantaslah disematkan sebagai zaman jahiliyah atau zaman kegelapan. Menurut Muhammad Quthb dalam bukunya ‘Jahiliyatul Qarnil ‘Isyrin’ (Jahiliyah Abad 20), jahiliyah modern merupakan ringkasan dari segala bentuk kejahiliyahan masa silam dengan tambahan aksesori di sana-sini sesuai dengan perkembangan jaman. Sikap jahiliyahan modern yang tidak timbul secara mendadak melainkan telah melalui kurun waktu panjang. Dalam zaman globalisasi ini, kejahiliyahan alias “keedanan” tersebut termanifestasi dalam semakin rakusnya manusia mencari kesenangan dengan menindas orang lain, dalam hubungan-hubungan manusia yang didasari oleh hubungan kapital. Walaupun sekularisasi banyak ditentang dan dinyatakan salah dalam beberapa hal, sekularisasi sungguh menggerogoti dunia keseharian manusia modern. Dunia kehidupan yang didasari hanya oleh kesenangan dan materialisme. Demi nafsu manusia telah hilang rasa malu maka aib terbuka pun tak apa-apa, padahal karena malu kehormatan terjaga, karena malu bujukan nafsu terpelihara, karena malu batas-batas sosial terbina. Karena malu adalah bagian iman maka hilang malu hilanglah iman, menjaga rasa malu adalah menjaga iman, memelihara rasa malu adalah memelihara iman. Dengan malu dan iman, jangankan aib terbuka, berbuat aibpun tak jadi rencana. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Hakim dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya rasa malu (untuk melakukan perbuatan buruk) dan keimanan adalah dua hal yang selalu digandengkan dan dikaitkan. Apabila diangkat salah satunya maka akan diangkat pula yang lainnya.” Sabda Rasulullah SAW tersebut menggambarkan dengan jelas tentang salah satu konsekuensi iman yang sangat penting, yakni terbangunnya rasa malu dengan kuat untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela dan merusak. Apabila rasa malu itu hilang, akan hilang pula kekuatan keimanan yang menyertainya. Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah SAW menyatakan, “Apabila engkau sudah tidak punya rasa malu, maka engkau akan melakukan berbagai macam perbuatan tanpa kendali apa pun (sekehendak hati).” Maka tak penting lagi segala pertimbangan untuk melakukan suatu perbuatan, apakah baik atau buruk, benar atau salah. Celakanya lagi segala perbuatan itu diumbar ke muka umum maka terbukalah aib diri. Aib bak selebriti di panggung sensasi yang berbuatnya bangga, yang menebar beritanya gembira. Maka inilah masa aib terbuka, satu orang berbuat seluruh masyarakat celaka, yang berbuat aib, yang membuka aib dan yang mendengar cerita-cerita aib semua kena malapetaka… Na’udzubillah. “Wahai orang yang beriman dengan lisannya, tetapi tidak beriman dengan hatinya. Janganlah kamu mengumpat kaum muslimin dan janganlah mengintip aib mereka, maka barang siapa yang mengintip aib saudaranya, niscaya Allah akan mengintip aibnya dan siapa yang diintip Allah akan aibnya, maka Allah akan membuka aibnya meskipun dirahasiakan di lubang kendaraannya.”(HR. at-Tirmidzi). Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam bukunya Al Da’wah Al Tammah, mengutip ucapan Sayyidina Al Hasan Al Bashri, terkait meneliti aib diri sendiri. Imam Hasan Al-Bashri berkata, “Engkau tidak akan memperoleh hakikat iman selama engkau mencela seseorang dengan sebuah aib yang ada pada dirimu sendiri. Perbaikilah aibmu, baru kemudian engkau memperbaiki aib orang lain. Setiap engkau memperbaiki satu aibmu, maka akan tampak aib lain yang harus kau perbaiki. Akhirnya kau sibuk memperbaiki dirimu sendiri. Dan sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah adalah dia yang sibuk memperbaiki diri sendiri. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, tidak ada hari seperti hari kiamat, hari dimana aib terbuka dan mata menangis.” Wallahu’alam ************ Cucu-cucuku negara terlanda gelombang zaman edan cita-cita kebajikan terhempas batu lesu dipangku batu tetapi aku keras bertahan mendekap akal sehat dan suara jiwa biarpun tercampak diselokan zaman ~ Mas Kumambang- WS Rendra~ sumber: https://serbasejarah.wordpress.com