Selasa, 09 Mei 2017

Ekonomi Indonesia – Tiongkok: Menjadi Pembantai atau Pawang Naga?

Hubungan Rindu-Benci Pada minggu ketiga dan keempat April 2017 saya mendapatkan kesempatan untuk belajar di Negeri Tiongkok. Saya mendapatkan fellowship di Sekolah Ekonomi dan Bisnis Universitas Tsinghua, yang dianggap sebagai universitas terbaik di negeri tersebut, untuk mengetahui perkembangan mutakhir ekonomi dan bisnis di sana. Kesempatan ini tak saya sia-siakan karena kita sebagai bangsa memang punya sejumlah kepentingan. Masih lekat betul dalam ingatan kolektif bangsa ini bahwa Raja Arab Saudi datang ke Indonesia selama belasan hari, lalu kita mendapatkan komitmen investasi US$6 miliar. Setelahnya, terdengar kabar Sang Raja mampir 2 hari saja ke ibukota Tiongkok, dan menandatangani komitmen investasi US$65 miliar, hampir 11 kali lipat dari apa yang diberikannya ke Indonesia. Kita terhenyak. Apa yang membuat Arab Saudi menaruh investasi sedemikian besar di negeri itu, sementara kepada Indonesia yang berjualan habis-habisan mereka sekadar menaruh “receh”? Gambaran lainnya, pada tahun 2016, investasi asing terbesar yang masuk ke Indonesia datang dari Singapura (US$9,2 miliar), Jepang (US$5,4 miliar), Tiongkok (US$2,7 miliar), Hong Kong (US$2,2 miliar), dan Belanda (US$1,5 miliar). Tiongkok memang menaruh investasi nomor 3 terbesar, tetapi banyak pengamat yang menyatakan bahwa ukuran tersebut tidak sebanding dengan ekonomi negaranya yang sekarang adalah nomor 2 terbesar di dunia. Masak investasinya jauh di bawah Singapura dan hanya separuh investasi Jepang? Bagaimana neraca perdagangan Indonesia dan Tiongkok? Data tahun 2015 menunjukkan bahwa dari total US$293 miliar atau Rp 4.043 triliun perdagangan luar negeri Indonesia, perdagangan dengan Tiongkok angkanya mencapai US$44,6 miliar atau Rp 613 triliun. Itu berarti perdagangan dengan Tiongkok adalah 15% dari nilai total perdagangan luar negeri kita. Angka itu turun sekitar 2% dibandingkan tahun sebelumnya. Dari angka US$44,6 miliar itu, impor Indonesia mencapai US$29,4 miliar, sementara ekspornya hanya sekitar separuh, yaitu US$15 miliar. Walaupun perdagangan luar negeri itu adalah yang terbesar, lagi-lagi banyak komentar bahwa seharusnya bisa lebih besar lagi, dan defisitnya seharusnya bisa dikurangi. Di satu sisi, kita iri pada investasi asing ke Tiongkok dan membandingkan investasinya di Indonesia yang relatif kecil. Kita juga berpikir bahwa investasi Tiongkok juga perdagangannya dengan Indonesia masih terlampau kecil. Tapi, di sisi lain, kita punya hambatan yang jelas. Mungkin tak ada negara lain yang investasinya di sini lebih dicurigai dibandingkan Tiongkok. Berita bahwa perhatian mereka terhadap lingkungan yang rendah, sejumlah kasus terkait tenaga kerja ilegal, dan turut masuknya ideologi Komunisme bersama investasi mereka terus-terusan berhembus. Sentimen negatif terhadap mereka—baik sebagai negara maupun etnis—yang sudah lama menjangkiti Indonesia adalah hambatan yang nyata peningkatan hubungan ekonomi kedua negara. Masalahnya, apakah kita punya pilihan untuk memunggungi atau bahkan memusuhi negara yang ekonominya, menurut studi mutakhir PriceWaterhouse Coopers, bakal segera menjadi nomor satu di dunia itu? Kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan di antaranya tergantung dari kemampuan memanfaatkan ukuran dan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, apakah yang perlu kita lakukan untuk mewujudkan peluang-peluangnya, sambil menekan ancaman yang nyata memang ada? Tujuh Pelajaran Penting Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, saya akan meringkaskan terlebih dahulu apa yang saya peroleh selama fellowship yang saya ikuti. Tsinghua University bukan saja perguruan tinggi terbaik, melainkan juga yang terdekat dengan partai politik penguasa pemerintahan dan birokrasi. Sekolah Ekonomi dan Bisnisnya adalah tempat di mana para pimpinan bisnis paling penting mendapatkan pendidikannya. Jadi, saya sangat beruntung karena bisa mengakses pengetahuan langsung dari para profesor yang menjadi otak di balik kebijakan-kebijakan publik terpenting sekaligus mentor para pebisnis utama di sana. Dari interaksi dengan mereka, saya bisa mendapati beberapa butir kunci. Pertama, ukuran Tiongkok yang raksasa. Sebagai wilayah dan ukuran ekonomi, kita sudah kerap mendengar bahwa Tiongkok seharusnya dibandingkan dengan Uni Eropa, yang ukurannya memang sangat besar. Tetapi, di luar Tiongkok sebagai negara, perusahaan-perusahaan yang berasal dari negara tersebut juga berukuran luar biasa besar. Tentu, ada bermacam cerita soal bagaimana Huawei mulai dari ukuran yang sangat kecil, juga bisnis Chu Orange yang mungkin malah dimulai dengan lebih kecil lagi. Namun pada akhirnya semua contoh tentang perusahaan dan ekonomi Tiongkok adalah kisah tentang raksasa. Ukuran pasar intenal yang ekstra-besar, lebih dari 1,3 miliar orang, telah membuat kisah-kisahnya membuat saya menahan nafas. Bahkan, cerita tentang beragam bisnis start-up—yang biasanya berukuran kecil di berbagai penjuru dunia—pun ukurannya benar-benar membuat decak kagum. Dan, banyak di antaranya yang dicapai dalam waktu yang sangat singkat. Berikutnya, tentang para pemimpin politik dan bisnis yang luar biasa visioner. Inilah ciri kedua yang saya lihat. Ekonomi Tiongkok sangat terkait dengan visi para pemimpinnya—Presiden Xi Jinping sendiri menyatakan bahwa berpikir jangka panjang berarti berpikir dalam jangka waktu seribu tahun—dan visi tersebut dijalankan dengan strategi dan disiplin eksekusi yang ketat oleh para pemimpin birokrasi maupun perusahaan. Bayangkan, Tiongkok melihat bahwa interkoneksi daratan adalah keniscayaan masa depan, dan karenanya proyek raksasa One Belt One Road mereka gelontorkan. BUMN dan swasta bekerjasama mewujudkannya, dengan rasa mirip dengan disiplin militer. Di dalam negeri beragam masalah pembangunan seperti ketersediaan hunian dan energi juga dipecahkan oleh berbagai perusahaan dengan cara-cara yang menunjukkan pemikiran jangka panjang, termasuk memastikan daya dukung lingkungan. Mereka tahu bahwa dahulu mereka mengabaikan lingkungan dalam pembangunan, dan kini hingga masa mendatang hal itu sudah tak mungkin lagi dilakukan. Karenanya, inisiatif seperti energi terbarukan—Tiongkok kini adalah produsen energi matahari dan angin terbesar di dunia—terus mereka lancarkan. Tanda utama pemikiran visioner adalah kesadaran atas kompleksitas dan rencana keberlanjutan yang kokoh, dan itulah yang mereka tunjukkan. Untuk memastikan perwujudan visinya, Tiongkok telah benar-benar memeluk ekonomi digital. Itu adalah pelajaran ketiga yang saya peroleh. Sangat jelas bahwa Tiongkok sedang mengembangkan ekonomi digital secara massif. Transportasi perkotaan diselesaikan dengan aplikasi penyewaan sepeda (siapa pun akan kaget melihat betapa sepeda sewaan adalah alat transportasi utama di Beijing) dan pemesanan kendaraan bermotor. Semuanya dikuasai aplikasi lokal. Uber yang tadinya sempat menikmati Tiongkok sebagai sepertiga bisnisnya belakangan mengibarkan bendera putih dan dicaplok Didi. Penyewaan rumah dan kamar dikuasai oleh Ziroom. Pembayaran elektronik sudah dipergunakan bahkan di warung-warung. Tetapi, yang terpenting, mereka tidak melihat aplikasi bukan saja sebagai alat pemasaran. Jelas sekali bahwa mereka sudah melihat internet of things dan big data sebagai cara menganalisa dan berpikir tentang masa depan. Konektivitas tanpa batas mereka rencanakan untuk dimanfaatkan oleh seluruh industri konvensional, dan itu dinyatakan sebagai proyek nasional bernama Internet Plus oleh Perdana Menteri Li Keqiang pada Maret 2015. Ini adalah jawaban Tiongkok atas apa yang dinyatakan Pemerintah AS sebagai program Industrial Internet dan program Pemerintah Jerman Industry 4.0. Mereka semua tahu, bahwa untuk terus maju secara ekonomi, maka ekonomi digital adalah sebuah keniscayaan, tetapi saya kira energi Tiongkok dalam mewujudkannya jauh melampaui kedua negara lainnya. Keempat, Tiongkok melakukan segala sesuatu dengan terutama melihat dan memanfaatkan kekuatan internalnya. Sangat jelas bahwa ada sejarah Tiongkok yang berpengaruh kuat di sini. Tiongkok yang hancur lebur tak mendapatkan bantuan Amerika Serikat setelah Perang Dunia II berakhir. Alasannya, tentu saja ideologis. Tiongkok adalah negara komunis, dan Komunisme adalah musuh AS pada periode itu—dan hantunya masih bisa dirasakan hingga sekarang. Tiongkok pun terpaksa membuat berbagai percobaan pembangunannya sendiri. Sempat menutup diri sekian lama, tiba-tiba dunia dikejutkan oleh keterbukaannya. Ketika dilongok lebih dalam, jelas sekali Tiongkok sangat mengandalkan seluruh kekuatan internalnya, bukan cuma untuk bertahan, namun juga untuk maju pesat. Jumlah penduduk yang besar menjamin pasar internal yang besar juga, selain pasokan tenaga kerja yang raksasa pula. Itu mereka sangat pergunakan di awal kemajuan. Tetapi, untuk maju seperti sekarang dan terus maju di masa mendatang, modal seperti pemerintahan yang efektif, kemampuan untuk mengelola pekerjaan secara efisien, penguasaan beragam keterampilan teknis, serta inovasi yang terus-menerus adalah esensial. Dan itu adalah hal-hal yang jelas diperjuangkan oleh Pemerintah Tiongkok yang sekarang untuk menjadi kekuatan internal negeri tersebut. Melihat secara strategis keluar adalah hal kelima yang ditunjukkan oleh pembangunan Tiongkok. Alih-alih mengambil sikap menutup diri seperti yang ditunjukkan oleh AS di bawah Trump, Tiongkok sudah cukup lama menyadari bahwa berpartisipasi dalam ekonomi global adalah jalan yang perlu ditempuh untuk meningkatkan kemakmurannya. Sebagai negara yang berada di Asia dan memiliki sejarah panjang sebagai bagian dari Jalan Sutra dan jalur-jalur perdagangan lainnya, Tiongkok jelas ingin membangkitkan dan meningkatkan perannya dengan membangun One Belt One Road itu. Tetapi, bahkan sebelum proyek ambisius itu dilaksanakan, keterbukaan Tiongkok atas investasi asing dan investasinya sendiri di banyak negara—termasuk di Indonesia, dalam ukuran yang relatif kecil—telah menunjukkan bahwa memang Tiongkok mengambil jalan memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan dirinya. Sangat jelas pula bahwa kepentingan diri mereka itu dilihat berkelindan dengan kepentingan negara-negara lain. Tiongkok melihat bahwa kolaborasi ekonomi—bukan pengambilan keuntungan sepihak, apalagi kolonialisme dan peperangan—dengan sebanyak mungkin negara adalah jalan satu-satunya bagi kemakmuran. Keenam, perusahaan Tiongkok adalah ladang tumbuhnya fusi dari tiga ideologi: Konfusianisme, Sosialisme, dan Kapitalisme. Sangat jelas bahwa perusahaan dan bisnis di Tiongkok—atau di negara mana pun juga—tak bisa tumbuh dengan Komunisme sebagai dasarnya. Penelitian secara saksama menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan paling sukses di sana benar-benar melihat pentingnya harmoni di antara para pemangku kepentingan, sebagaimana yang diajarkan Konfusius; melihat cita-cita kesetaraan dan pemerataan kemakmuran dari Sosialisme sebagai visinya; namun memanfaatkan Kapitalisme sebagai cara untuk meraih efisiensi pemanfaatan sumberdaya. Harmoni, cita-cita kesetaraan dan pemerataan, serta efisiensi adalah kunci dari kesuksesan perusahaan Tiongkok, yang terus-menerus mereka sebutkan berbeda dari perusahaan-perusahaan di Barat. Salah satu kritik yang mereka lancarkan kepada konsep corporate social responsibility (CSR) yang lahir di Barat adalah ketidaktegasannya soal pentingnya harmoni dan kesetaraan dan pemerataan. CSR-nya sendiri secara tegas dikembangkan para pakar Tiongkok dengan menggunakan pendekatan harmoni interpersonal Konfusianisme dan harmoni manusia-alam dari Tao. Kemampuan otokritik adalah pelajaran ketujuh yang saya serap. Tiongkok sangat menyadari bahwa terdapat kesenjangan antara visi dan pencapaiannya hingga sekarang. Para pemimpin politik dan bisnisnya sangat mawas diri. Mereka mengakui bahwa keterampilan teknis mungkin mereka sudah kuasai hingga level yang memuaskan, namun dalam soal-soal non-teknis mereka masih jauh tertinggal. Mereka sadar sepenuhnya atas keterbatasan itu ketika mereka mulai menjalankan berbagai proyek di dan/atau untuk negara-negara lain. Mereka tahu persis bahwa mereka punya “kebudayaan korupsi” yang (seharusnya) tak mereka manfaatkan untuk memenangkan bisnis di luar negerinya. Mereka juga sadar betul bahwa dalam pengelolaan sosial mereka kedodoran dan mengaku membutuhkan bantuan dalam hal itu. Mereka tahu bahwa perusahaan-perusahaannya baru mulai belajar pengelolaan lingkungan yang memadai. Sementara, mereka harus maju ke berbagai proyek di luar negerinya karena perintah dan arahan dari pemerintah, dan kemudian berhadap-hadapan dengan kenyataan risiko yang selama ini tak mereka temukan di dalam negerinya. Mereka sadar sepenuhnya mereka ketinggalan dan merasa perlu belajar dan mendapat bantuan untuk bisa menjadi lebih baik. Kesadaran ini merupakan modal terpenting mereka untuk maju, sekaligus untuk tetap tidak menonjolkan diri. Apabila mereka ditanya apakah ingin menjadi nomor satu, jawaban rendah hati mereka adalah bahwa mereka masih punya segudang persoalan yang harus diselesaikan, dan penyelesaian itulah yang menjadi ambisi mereka. Menjadi Denton Van Zan atau Hiccup Horrendous Haddock III? Pertanyaannya kemudian, apa yang Indonesia perlu dan hendak lakukan dengan kenyataan soal Tiongkok sekarang dan potensinya di masa mendatang itu? Kalau kita gunakan metafora Tiongkok sebagai naga, maka Indonesia sesungguhnya bisa memilih untuk menjadi Denton Van Zan atau menjadi Hiccup Horrendous Haddock III. Buat yang tak akrab dengan dua tokoh fiktif yang sangat terkenal tersebut, saya akan memberi penjelasannya. Denton adalah tokoh di Reign of Fire, sebuah film tentang para pembantai naga. Sementara, Hiccup muncul di film How to Train Your Dragon, seorang anak brilian yang dengan segala keberanian dan kecerdikannya bisa menjadikan naga menjadi sahabatnya dan hidup dalam simbiosis mutualisme. Tentu, yang pertama kali perlu dilakukan bila Indonesia hendak menjadi Hiccup adalah memahami secara detail bagaimana situasi ekonomi dan bisnis Tiongkok ke depannya. Kita perlu melihat kompatibilitas perdagangan dan investasi dengan mereka, sesuai dengan visi dan strategi pembangunan Tiongkok ke depan. Terkait perdagangan, jelas kita perlu merumuskan apa saja produk yang bisa kita sediakan untuk pasar mereka sesuai keunggulan kita; dan di sisi lain mengetahui secara persis apa yang bisa mereka sediakan untuk pemenuhan kebutuhan kita. Terkait investasi, sangat jelas bahwa pekerjaan rumah kita memang seabrek. Peringkat Ease of Doing Business kita perlu terus ditingkatkan, agar Indonesia semakin menarik bagi investasi. Tapi, kita sangat perlu menyadari bahwa tidak semua investasi kita butuhkan. Kita harus memutuskan investasi dalam negeri dan asing apa saja yang kita butuhkan untuk keberlanjutan Indonesia, bukan sekadar untuk ekonomi konsumtif dan pertumbuhan jangka pendek. Dari kumpulan investasi asing yang kita butuhkan, kita kemudian perlu memutuskan investasi mana yang memang bisa disediakan oleh Tiongkok, bukan hanya dalam bentuk modal finansial, namun terutama adalah teknologi yang bermanfaat untuk kemajuan Indonesia. Dalam hal ini, di antara yang sangat jelas adalah Tiongkok kini menjadi negara penghasil energi terbarukan terbesar. Dan tak ada tanda-tanda mereka bakal melambat. Target mereka dalam energi surya di tahun 2020 akan segera dilampaui sebelum tahun 2018 berakhir. Di awal 2017 ini mereka mengumumkan investasi dalam energi terbarukan sebesar US$360 miliar hingga 2020, menjadikannya negara dengan investasi energi terbarukan terbesar. Tentu, kalau Indonesia terus mengimpor pembangkit listrik tenaga batubara, yang oleh Tiongkok sendiri dianggap sebagai teknologi usang, sebetulnya kita tidak sinkron dengan kemajuan mereka. Berikutnya, kita perlu memastikan regulasi sosial dan lingkungan kita sendiri ditegakkan tanpa kompromi. Ini pekerjaan rumah sendiri, yang perlu dilakukan untuk investasi dalam negeri maupun investasi asing dari mana pun. Perusahaan-perusahaan Tiongkok terkenal sangat pragmatis. Mereka bisa mengikuti standar tertinggi, namun juga tak masalah bila harus memberikan barang dan jasa pada standar yang rendah. Mereka mengikuti kehendak pasar dengan sangat lentur, sehingga kitalah yang perlu menjadi mitra ekonomi yang tegas. Lebih awal dan lebih penting daripada penegakan hukum adalah memastikan bahwa perusahaan-perusahaan asal Tiongkok benar-benar memahami regulasi tata kelola, sosial dan lingkungan (juga aspek-aspek lainnya) yang berlaku di Indonesia, juga nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat Indonesia. Hubungan harmonis antara perusahaan (dari mana pun) dengan masyarakatnya didasari oleh perilaku, sehingga memberikan pengetahuan sosial, terutama komunikasi lintas-budaya, adalah keniscayaan. Perusahaan-perusahaan Tiongkok sangat membutuhkan bantuan untuk memahaminya, sebelum mereka memulai pekerjaannya di Indonesia. Jelas diperlukan adanya pihak-pihak yang bisa menjadi jembatan di antara perusahaan-perusahaan asal Tiongkok dengan masyarakat di mana perusahaan itu beroperasi. Sebagai jembatan, pihak-pihak itu juga perlu memiliki pengetahuan tentang budaya Tiongkok sekaligus budaya perusahaan-perusahaan Tiongkok. Pekerjaannya bukan cuma memberikan bantuan bagi perusahaan yang sudah beroperasi di Indonesia, melainkan masuk sampai persiapannya, hingga sebelum keputusan investasi diambil. Saya berpendirian bahwa unsur terpenting yang harus ditekankan kepada perusahaan-perusahaan Tiongkok adalah bagaimana nilai-nilai harmoni Konfusianisme (dan Tao) bisa dilaksanakan ketika mereka berinvestasi di Indonesia. Terakhir, Pemerintah Indonesia juga sangat perlu menggunakan kekuatan diplomatiknya untuk memastikan standar pengelolaan sosial dan lingkungan yang diberlakukan bagi investasi di Tiongkok juga berlaku ketika melakukan investasi di Indonesia, atau bahkan mereka harus memilih standar yang lebih tinggi (yang mana pun itu). Sebagai misal, Tiongkok sudah memiliki regulasi komprehensif tentang sustainable financing, termasuk dalam penapisan investasi dan pelaporan. Penapisan dan pelaporan tersebut harusnya juga berlaku ketika perusahaan Tiongkok beroperasi di Indoneia. Tetapi, di luar hal-hal yang rasional itu, pekerjaan rumah terbesar bagi Pemerintah dan masyarakat Indonesia mungkin adalah mengikis sentimen rasisme yang bukan saja masih kuat, namun malah cenderung menguat belakangan ini. Jelas, sentimen negatif tersebut mempengaruhi bagaimana publik di Indonesia memandang investasi dari Tiongkok. Hantu Komunisme—yang kerap dihubungkan dengan pengalaman buruk Indonesia terkait Partai Komunis Indonesia—semakin sering dipergunakan untuk melancarkan kampanye anti-Tiongkok dan anti-Tionghoa. Padahal, ekonomi Tiongkok sudah didorong oleh pasar (market-driven economy) sejak 1979, dan mereka sama sekali tak memandang penting penyebaran ideologi dalam hubungan antar-bangsa. Yang jelas, apa yang kita pilih untuk percayai tentang Tiongkok, dan bagaimana kita membangun hubungan dengan mereka berdasarkan kepercayaan itu, akan menentukan bagaimana nasib kita ke depan. Hubungan Indonesia dengan Tiongkok, sebagai kekuatan ekonomi terbesar, jelas akan menentukan nasib Indonesia ke depan, for better or worse, termasuk apakah kita akan benar-benar menjadi kekuatan ekonomi global nomor 4 di tahun 2050, sebagaimana ramalan PriceWaterhouse Coopers itu. Menurut hemat saya, Indonesia seharusnya cukup cerdas untuk memilih menjadi Hiccup yang hubungannya produktif dengan sang naga, bukan menjadi Denton yang kemudian tewas sebelum ujung film. Tentu, untuk bisa menjadi Hiccup yang mahir, kita benar-benar perlu untuk menuntut ilmu di—juga tentang, dan bersama—Negeri Tiongkok. Bukankah nasihat bijak yang kerap diatribusikan kepada Nabi Muhammad itu sangat populer di antara mayoritas penduduk Indonesia? Saatnya menjalankan nasihat bijak itu dengan sungguh-sungguh, demi masa depan Indonesia. By Jalal : http://geotimes.co.id/

Sabtu, 06 Mei 2017

Indonesia Milik Konglomerat

oleh Iwan Piliang Dulu di akhir 80-an sebagai jurnalis, saya sempat bertemu dengan Dirut bank-bank pemerintah. Bahkan saat itu beberapa kali memandu diskusi terbatas perbankan, era belum ada istilah pengamat, diksi pakar belum mewabah. Era di mana Omar Abdalla, BBD, Kukuh Basuki, BNI, Widarsa Dipradja, BDN, Kamardi Arif, BRI, begitu dicari, dilobby. Berkawan dengan mereka, sekadar sumber. Berteman bukan untuk meminta. Tetapi agar dimudahkan mengutip keterangan untuk ditulis. Berbeda dengan pengusaha. Dekat dengan direksi bank, jaminan bagi perolehan kredit tambun. Saya paham bagaimana Eka Tjipta Wijaya, mendapatkan kredit besar dari BRI. Publik pun kemudian tahu setelah tak menjabat Dirut BRI, Kamardi menjadi komisaris di perusahaan grup Sinar Mas, sekadar salah satu contoh. Lakon demikian hampir dijalani semua konglomerat papan atas Indonesia. Bahkan modal awal pendirian bank swasta mereka dominan juga dari uang pinjaman bank pemerintah. Ingat kebijakan Pakto, tahun 1988. Swasta diberi kemudahan bagi pendirian bank. Perjalanan ini kemudian terjadilah praktek pelanggaran Capital Adequacy Ratio, Legal Lending Limit. Proses pelanggaran dan ranah abu-abu dalam bisnis itu terus berlanjut hingga era KLBI, BLBI, bahkan era BPPN, jaman panen membeli aset BPPN dengan pola cesie, 20% dari nilai riil, melalui anak usaha di negara bebas pajak, perusahaan Blossom Limited, dari British Virgin Island, sekadar menulis nama. Padahal pemiliknya mereka telah dikonglomeratkan bank pemerintah, negara, Indonesia. Di hadapan para peserta Sesko TNI di Bandung, 17 November 2015 perih-hal ini - - sengaja saya tambah h-nya - - konglomerasi di Indonesia itu sudah pernah saya paparkan. Produk TVRI jadi TV publik, kemasan Undang-Undang. Simak saja mana ada TV negara yang nasibnya seterperkosa TVRI, lihat saja pesta pendapatan TV Swasta. Setelah dapat Bisnis TV, dari pendapatan iklan mereka merambah partai politik. Beruntung dunia perbankan pemerintah, nasibnya tak sejelek TVRI. Akan tetapi bank swasta milik konglo telah membangun kepercayaan terutama di lingkup pengusaha keturunan untuk diutamakan dipilih. Dalam sikon demikian para konglomerat tambun merambah memiliki lalu mencengkeram partai politik. Tommy Winata saja punya hak veto di Nasdem. Surya Paloh pernah akui ia hanya pendana ke empat. Setelah TW, ada Jan Darmadi, bisa dilihat kemudian diangkat jadi anggota penasehat presiden, lalu ada pendana Franky, kini bendahara. Sjamsul Nursalim yang mukim di Singapura, diduga pemgemplang BLBI melalui bank BDNI-nya, punya tangan ke pendirian partai baru. Sebutlah konglomerat lain, kalau pun mereka tidak terang-terangan punya partai, publik paham bagaimana tangan mereka ke penguasa. Bukan rahasia tangan grup Sinarmas, Lippo, berandil memenangkan Jokowi-Ahok. Melalui indikasi dukungan uang untuk kampanye. Semua itu harus dibayar dengan kebijakan. Kebijakan kereta cepat Jakarta- Bandung, sudah lama saya katakan untuk kepentingan pengembang. Baru saja dua hari lalu James Riady, mendeklarasikan kota baru Meikarta, terkoneksi dengan jalur kereta cepat. Ketika Pilkada DKI Jakarta, ada janji membatalkan reklamasi pantai utara Jakarta, saya pesimis. Indonesia milik konglomerat kini. Lihatlah bagaimana tercampaknya dengan mudah Rizal Ramli dari kabinet, tengoklah kekehnya pembelaan pusat kekuasaan kepada Basuki Tjahanja Purnama. Semua bisnis sah saja adanya. Tidak ada seorang pun di Indonesia melarang orang sangat kaya. Saya sebagai warga misalnya hanya mengkritisi soal penggelapan pajak tambun setiap tahun melalui pola transfer pricing. Setahun 2005 saja terindikasi sudah Rp 1.300 triliun. Tahun 2015 sudah di atas Rp 2.200 triliun setahun. Jika Pengadilan Pajak benar, kerja bisa membuktikan 30% maka Indonesia tak perlu berhutang APBN-nya. Majalah Tempo pernah ungkap soal penggelapan pajak, transfer pricing PT ASIAN agri, terbukti di Pengadilan. Kasus diakhiri, menguap. Bandingkan dengan Australia, pada 2005 bisa me nuntut laku transfer pricing Toyota US$1 miliar. Sementara untuk tahun sama perusahaan terindikasi kasus transfer pricing di Pengadilan Pajak, Toyota Motor Manufactur Indonesia, belum jelas kesudahannya. Sekadar satu contoh. Indikasi penggelapan pajak tambun Pola transfer pricing tiap tahun itu dari sektor tambang, ekspor CPO sangat dominan. Polanya simpel, harga jual riil di pasar bukan jadi laporan pajak. Tetapi laporan pajak dari pembukuan pembeli dari tax heaven country. Misalnya harga riil jual 50 dollar per ton, laporan pajak 25 dollar per ton. Metha Dharmaputra, wartawan Tempo saat liput kasus Asian Agri, di rapat perencanaan tahunan tercantum dokumen transfer pricing bagian dari rencana pendapatan. Grup Sinarmas besar di tambang batu bara dan ekspor CPO otomatis laku sejenis sudah lama saya duga terjadi di grup mereka. Akan tetapi setelah rejim berganti bukan penggelapan pajak tambun diberesi justeru berganti ke tax amnesty. Maka secara miris saya katakan tax amnesty sebagai saya rakyat dihisap darah hingga dikikir tulang, ditimpuk kepala pakai batu, di saat bocor ditetesi cuka. Itu rasa tax amnesty bagi saya. Ketika ada berita Grup Sinarmas, diduga pembeli utama karangan bunga yang beredar di Jakarta, saya bertanya ini episode apalagi yang hendak dimainkan konglomerat di negeri ini? Bukan rahasia tangan konglomerat ke mana-mana. Beralihnya empati warga ke Ridwan Kamil, Bandung, bukan mustahil akibat jerat konglomerat. Pembangunan di Bandung, banyak juga didukung CSR pemgembang dari grup Lippo, misalnya. Dan kini Nasdem mendukung RK. Berpilin berkelindannya konglomerat ke media, ke partai politik, hari kini memberi framing radikal umat, menurut saya nyata. Mengapa misalnya sikap Polri seakan berlawanan dengan warga? Karena pimpinan mereka di atas, mengutamakan kepentingan konglomerat, beberapa pemilik, terindikasi tak nyaman, politik terjerembab pasrah ke sikon oligarki fulus mulus membaja. Mencegah kebuntuan demikian sejatinya sudah kami lakukan ketika mendukung Jokowi 2012, 2014. Eh ternyata kebekuan itu kian mengeras, lebih membaja, sehingga ranah keadilan dirasakan pahit oleh umat Muslim khususnya, karena cap, label radikal, bahkan teroris. Padahal satu saja tuntutan umat kini tegakkan keadilan. Jika laku "maling" dengan transfer pricing dominan warga diem karena kecerdasan hati mereka tinggi. Mungkin anggapan warga biarlah kalau negara diam, masih ada alam akhirat, tetapi Al Quran dihina, memang himbauan akidah wajib membelanya. Karenanya konglomerat kini sudah tambun di besarkan negara tidak sepatu t nya, juga tidak sepantasnya ngelunjak berlebih-lebih. Sebagai contoh kecil Jika Indikasi pembeli karangan bunga ke kantor Kapolri dan Kapolda adalah Sinarmas, maksudnya apalagi? Radikal riil kah umat Islam? Dalam keadaan itulah di 10 hari terakhir warga bersemangat mendukung sosok muda Gubernur NTB, Zainul Majdi akrab di sapa Tuan Guru Bajang, tampil memimpin bangsa memecah keheningan nanti di 2019. Apakah bisa? Belum apa-apa sudah beredar meme di Sosmed AHY-TGB, yang mensosialisasikan satu dua pengurus Partai Demokrat. Mengutip Jeffrey Winters, politik di Indonesia Sultanistic Oligarchy. Rasanya harapan menggadang TGB mengurai kumparan baja kusut, memecah keheningan, bisa jadi utopi. Cengkeraman konglomerasi membaluti di ranah oligarki fulus-mulus. Akan tetapi sebagai warga bukan konglomerat, rakkyat, saya berharap dalam Rakernasnya Partai Demokrat 7-9 Mei nanti tampil dengan satu nama Capres boleh AHY bisa TGB, namun tidak keduanya dalam satu paket. Baru elegan. Baru ada harapan. Ada harapan baru.